jump to navigation

Lelaki Itu… August 10, 2013

Posted by tintaungu in Rapuh.
add a comment

Suka menyimpan berbagai masalah di dalam hati. Lelaki lebih memilih bermain dengan pikirannya.

Diam adalah cara lelaki untuk meraba jalan keluar suatu masalah. Masalah yang datang menerjang adalah makanan sehari-hari yang kudu, musti, harus dan wajib ditaklukkan, diendapkan dalam sikap kedewasaannya dan diuraikan dengan kemampuan nalarnya.

Air mata lelaki itu sangat mahal. Tidak mudah menetes manakala bingung mengepung. Tidak mudah menetes manakala panik mencekik.

Tapi mungkin justru akan menetes pelan saat menghamba dalam kerinduan. Menyepi dalam kepasrahan. Bertobat akan jutaan kesalahan yang pernah dilakukannya.

Lelaki itu tangguh dan hebat. Namun di balik lelaki yang hebat ada perempuan yang hebat pula.

(Sumber: Fans Page Facebook)

Because Your Wife Does Not Work..? April 21, 2013

Posted by tintaungu in Rapuh.
add a comment

A husband complains for feeling tired… tired and tired…. and wants his wife help him on earning money by also working, because so far he thinks that his wife is ‘not working’.

Following are Question and Answer between The Husband (H) and The Psychologist (P):

P : What do you for a living Mr. Bandy?
H : I work as an Accountant in a Bank.

P : Your Wife ?
H : She doesn’t work. She’s a Housewife only.

P : Who make breakfast for your family in the morning?
H : My Wife, because she doesn’t work.

P : At what time your wife wake up for making breakfast?
H : She wakes up at around 5am because she cleans the house first before making breakfast.

P : How do your kids go to school?
H : My wife take them to school, because she doesn’t work.

P : After taking kids to school, what does she do?
H : She goes to the market, then go back home for cooking and laundrying clothes. You know, she doesn’t work.

P : In the evening, after you go back home from office, what do you do?
H : Take rest, because I’m tired due to all day works.

P : What does your wife do then?
H : She prepares meals, serving our kids, preparing meals for me and cleaning the dishes, cleaning the house then taking kids to bed.

From the story above, who do you think work more???

The daily rounities of your wives commence from early morning to late at night. That is called ‘DOESN’T WORK’??!!

Yes, Being Housewives do not need Certificate of Study, even High Position, but their ROLE/PART is very important!

Appreciate your wives. Because their sacrifices are uncountable. This should be a reminder and reflection for all us to understand and appreciate each others roles. Understanding and Appreciating each other will make each person feel Happy.

Remember also that our Prophet (SallAllaahu ‘Alayhi Wa Sallam) used to help his wives on house working:

It is narrated on the authority of Abu Hurayrah (radiyAllaahu ‘anhu) that he said: I asked ‘Aa`ishah (radiyAllaahu ‘anha) what the Messenger of Allah (SallAllaahu ‘Alayhi Wa Sallam) used to do in the house. She said:

“He used to help with the housework and when it was time to pray he would leave for the prayer ” [Al-Bukhari: 676]

(copas from: ILoveAllaah.com)

Jangan Galau, Allah Bersama Kita… November 24, 2012

Posted by tintaungu in Rapuh.
add a comment

Zaman sekarang berbagai masalah makin kompleks. Entah itu komplikasi dari masalah keluarga yang tak kunjung selesai, masalah hutang yang belum terbayar, bingung karena ditinggal pergi oleh sang kekasih, ataupun masalah-masalah lain. Semuanya bisa membuat jiwa seseorang jadi kosong, lemah atau merana.

“Galau!!” merupakan sebuah kata-kata yang sedang naik daun, di mana kata-kata itu menandakan seseorang tengah dilanda rasa kegelisahan, kecemasan, serta kesedihan pada jiwanya. Tak hanya laku di facebook atau twitter saja, bahkan di media televisi pun orang-orang seakan-akan dicekoki dengan kata-kata “galau” tersebut.

Pada dasarnya, manusia adalah sesosok makhluk yang paling sering dilanda kecemasan. Ketika seseorang dihadapkan pada suatu masalah, sedangkan dirinya belum atau tidak siap dalam menghadapinya, tentu jiwa dan pikirannya akan menjadi guncang dan perkara tersebut sudahlah menjadi fitrah bagi setiap insan.

…Jangankan kita manusia biasa, bahkan Rasulullah pun pernah mengalami keadaan keadaan galau pada tahun ke-10 masa kenabiannya…

Jangankan kita sebagai manusia biasa, bahkan Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam pun pernah mengalami keadaan tersebut pada tahun ke-10 masa kenabiannya. Pada masa yang masyhur dengan ‘amul huzni(tahun duka cita) itu, beliau ditinggal wafat oleh pamannya, Abu Thalib, kemudian dua bulan disusul dengan wafatnya istri yang sangat beliau sayangi, Khadijah bintu Khuwailid.

Sahabat Abu Bakar, ketika sedang perjalanan hijrah bersama Rasulullah pun di saat berada di dalam gua Tsur merasa sangat cemas dan khawatir dari kejaran kaum Musyrikin dalam perburuan mereka terhadap Rasulullah. Hingga turunlah surat At-Taubah ayat 40 yang menjadi penenang mereka berdua dari rasa kegalauan dan kesedihan yang berada pada jiwa dan pikiran mereka.

Jangan Galau, Innallaha Ma’ana!

Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kami” (QS. At Taubah: 40)

Ayat di atas mungkin dapat menjadikan kita agar lebih merenungi lagi terhadap setiap masalah apapun yang kita hadapi. Dalam setiap persoalan yang tak kunjung terselesaikan, maka hadapkanlah semua itu kepada Allah Ta’ala. Tak ada satupun manusia yang tak luput dari rasa sedih, tinggal bagaimana kita menghadapi kesedihan dan kegalauan tersebut.

…Allah telah memberikan solusi kepada manusia untuk mengatasi rasa galau yang sedang menghampiri jiwa…

Adakalanya, seseorang berada pada saat-saat yang menyenangkan, tetapi, ada pula kita akan berada pada posisi yang tidak kita harapkan. Semua itu sudah menjdai takdir yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk makhluk-makhluk Nya.

Tetapi, Allah Ta’ala juga telah memberikan solusi-solusi kepada manusia tentang bagaimana cara mengatasi rasa galau atau rasa sedih yang sedang menghampiri jiwa. Karena dengan stabilnya jiwa, tentu setiap orang akan mampu bergerak dalam perkara-perkara positif, sehingga dapat membuat langkah-langkahnya menjadi lebih bermanfaat, terutama bagi dirinya lalu untuk orang lain.

Berikut ini adalah kunci dalam mengatasi rasa galau;

1. Sabar

Hal pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika menghadapi cobaan yang tiada henti adalah dengan meneguhkan jiwa dalam bingkai kesabaran. Karena dengan kesabaran itulah seseorang akan lebih bisa menghadapi setiap masalah berat yang mendatanginya.

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (Qs. Al-Baqarah 153).

Selain menenangkan jiwa, sabar juga dapat menstabilkan kacaunya akal pikiran akibat beratnya beban yang dihadapi.

2. Adukanlah semua itu kepada Allah

Ketika seseorang menghadapi persoalan yang sangat berat, maka sudah pasti akan mencari sesuatu yang dapat dijadikan tempat mengadu dan mencurahkan isi hati yang telah menjadi beban baginya selama ini. Allah sudah mengingatkan hamba-Nya di dalam ayat yang dibaca setiap muslim minimal 17 kali dalam sehari:

“Hanya kepada-Mulah kami menyembah, dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan” (QS. Al Fatihah 5).

…ketika keluhan itu diadukan kepada Sang Maha Pencipta, maka akan meringankan beban berat yang kita derita…

Mengingat bahwa manusia adalah makhluk yang banyak sekali dalam mengeluh, tentu ketika keluhan itu diadukan kepada Sang Maha Pencipta, maka semua itu akan meringankan beban berat yang selama ini kita derita.

Rasulullah shalallahi alaihi wasallam ketika menghadapi berbagai persoalan pun, maka hal yang akan beliau lakukan adalah mengadu ujian tersebut kepada Allah Ta’ala. Karena hanya Allah lah tempat bergantung bagi setiap makhluk.

3. Positive thinking

Positive thinking atau berpikir positif, perkara tersebut sangatlah membantu manusia dalam mengatasi rasa galau yang sedang menghinggapinya. Karena dengan berpikir positif, maka segala bentuk-bentuk kesukaran dan beban yang ada pada dalam diri menjadi terobati karena adanya sikap bahwa segala yang kesusahan-kesusahan yang dihadapi, pastilah mempunyai jalan yang lebih baik yang sudah ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya;

“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Qs Al-Insyirah 5-6).

4. Dzikrullah (Mengingat Allah)

Orang yang senantiasa mengingat Allah Ta’ala dalam segala hal yang dikerjakan. Tentunya akan menjadikan nilai positif bagi dirinya, terutama dalam jiwanya. Karena dengan mengingat Allah segala persoalan yang dihadapi, maka jiwa akan menghadapinya lebih tenang. Sehingga rasa galau yang ada dalam diri bisa perlahan-perlahan dihilangkan. Dan sudah merupakan janji Allah Ta’ala, bagi siapa saja yang mengingatnya, maka didalam hatinya pastilah terisi dengan ketenteraman-ketenteraman yang tidak bisa didapatkan melainkan hanya dengan mengingat-Nya.

…Bersabar, berpikir positif, ingat Allah dan mengadukan semua persoalan kepada-Nya adalah solusi segala persoalan…

Sebagaimana firman-Nya:

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram” (Qs Ar-Ra’du 28).

Berbeda dengan orang-orang yang lalai kepada Allah, yang di mana jiwa-jiwa mereka hanya terisi dengan rasa kegelisahan, galau, serta kecemasan semata. Tanpa ada sama sekali yang bisa menenangkan jiwa-Nya.

Tentunya, sesudah mengetahui tentang faktor-faktor yang dapat mengatasi persoalan galau, maka jadilah orang yang selalu dekat kepada Allah Ta’ala. Bersabar, berpikir positif, mengingat Allah, serta mengadukan semua persoalan kepada-Nya merupakan kunci dari segala persoalan yang sedang dihadapi. Maka dari itu, Janganlah galau, karena sesungguhnya Allah bersama kita..

Waallohua’lam…

(sumber: kembanganggrek)

Gendong Aku Sampai Ajalku Tiba July 28, 2012

Posted by tintaungu in Rapuh.
1 comment so far

Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku menghidangkan makan malam untukku. Sambil memegang tangannya aku berkata, “Saya ingin mengatakan sesuatu kepadamu.” Istriku lalu duduk di samping sambil menemaniku menikmati makan malam dengan tenang. Tiba-tiba aku tidak tahu harus memulai percakapan dari mana. Kata-kata rasanya berat keluar dari mulutku.

Aku ingin sebuah perceraian di antara kami, karena itu aku beranikan diriku. Nampaknya dia tidak terganggu sama sekali dengan pembicaraanku, dia malah balik bertanya kepadaku dengan tenang, “Mengapa?” Aku menolak menjawabnya, ini membuatnya sungguh marah kepadaku. Malam itu kami tidak saling bertegur sapa. Dia terus menangis dan menangis. Aku tahu bahwa dia ingin tahu alasan di balik keinginanku untuk bercerai.

Dengan sebuah rasa bersalah yang dalam, aku membuat sebuah pernyataan persetujuan untuk bercerai dan dia dapat memiliki rumah kami, mobil, dan 30% dari keuntungan perusahaan kami. Dia sungguh marah dan merobek kertas itu. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya bersamaku itu telah menjadi orang yang asing di hatiku. Aku minta maaf kepadanya karena dia telah membuang waktunya 10 tahun bersamaku, untuk semua usaha dan energi yang diberikan kepadaku, tapi aku tidak dapat menarik kembali apa yang telah kukatakan kepada Jane, wanita simpananku, bahwa aku sungguh mencintainya. Istriku menangis lagi. Bagiku tangisannya sekarang tidak berarti apa-apa lagi. Keinginanku untuk bercerai telah bulat.

Hari berikutnya, ketika aku kembali ke rumah sedikit larut, kutemukan dia sedang menulis sesuatu di atas meja di ruang tidur kami. Aku tidak makan malam tapi langsung pergi tidur karena ngantuk yang tak tertahankan akibat rasa capai sesudah seharian bertemu dengan Jane. Ketika terbangun, kulihat dia masih duduk di samping meja itu sambil melanjutkan tulisannya. Aku tidak menghiraukannya dan kembali meneruskan tidurku.

Pagi harinya, dia menyerahkan syarat-syarat perceraian yang telah ditulisnya sejak semalam kepadaku. Dia tidak menginginkan sesuatupun dariku, tetapi hanya membutuhkan waktu sebulan sebelum perceraian. Dia memintaku dalam sebulan itu, kami berdua harus berjuang untuk hidup normal layaknya suami istri. Alasannya sangat sederhana. Putra kami akan menjalani ujian dalam bulan itu sehingga dia tidak ingin mengganggunya dengan rencana perceraian kami. Selain itu, dia juga meminta agar aku harus menggendongnya sambil mengenang kembali saat pesta pernikahan kami. Dia memintaku untuk menggendongnya selama sebulan itu dari kamar tidur sampai muka depan pintu setiap pagi.

Aku pikir dia sudah gila. Akan tetapi, biarlah kucoba untuk membuat hari-hari terakhir kami menjadi indah demi perceraian yang kuinginkan, aku pun menyetujui syarat-syarat yang dia berikan. Aku menceritakan kepada Jane tentang hal itu. Jane tertawa terbahak-bahak mendengarnya. “Terserah saja apa yang menjadi tuntutannya tapi yang pasti dia akan menghadapi perceraian yang telah kita rencanakan,” kata Jane.

Ada rasa kaku saat menggendongnya untuk pertama kali, karena kami memang tak pernah lagi melakukan hubungan suami istri belakangan ini. Putra kami melihatnya dan bertepuk tangan di belakang kami. “Wow, papa sedang menggendong mama.” Sambil memelukku dengan erat, istriku berkata, “Jangan beritahukan perceraian ini kepada putra kita.” Aku menurunkannya di depan pintu. Dia lalu pergi ke depan rumah untuk menunggu bus yang akan membawanya ke tempat kerjanya, sedangkan aku mengendarai mobil sendirian ke kantorku.

Pada hari kedua, kami berdua melakukannya dengan lebih mudah. Dia merapat melekat erat di dadaku. Aku dapat mencium dan merasakan keharuman tubuhnya. Aku menyadari bahwa aku tidak memperhatikan wanita ini dengan seksama untuk waktu yang agak lama. Aku menyadari bahwa dia tidak muda seperti dulu lagi, ada bintik-bintik kecil di wajahnya, rambutnya pun sudah mulai beruban. Namun entah kenapa, hal itu membuatku mengingat bagaimana pernikahan kami dulu.

Pada hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku mulai merasakan kedekatan. Inilah wanita yang telah memberi dan mengorbankan 10 tahun kehidupannya untukku. Pada hari keenam dan ketujuh, aku mulai menyadari bahwa kedekatan kami sebagai suami istri mulai tumbuh kembali di hatiku. Aku tentu tidak mengatakan perasaan ini kepada Jane.

Suatu hari, aku memperhatikan dia sedang memilih pakaian yang hendak dia kenakan. Dia mencoba beberapa darinya tapi tidak menemukan satu pun yang cocok untuknya. Dia sedikit mengeluh, “Semua pakaianku terasa terlalu besar untuk tubuhku sekarang.” Aku mulai menyadari bahwa dia semakin kurus dan itulah sebabnya kenapa aku dapat dengan mudah menggendongnya. Aku menyadari bahwa dia telah memendam banyak luka dan kepahitan hidup di hatinya. Aku lalu mengulurkan tanganku dan menyentuh kepalanya.

Tiba-tiba putra kami muncul dan berkata,” Papa, sekarang saatnya untuk menggendong dan membawa mama.” Bagi putraku, melihatku menggendong dan membawa mamanya menjadi peristiwa yang penting dalam hidupnya. Istriku mendekati putra kami dan memeluk erat tubuhnya penuh keharuan. Aku memalingkan wajahku dari peristiwa yang bisa mempengaruhi dan mengubah keputusanku untuk bercerai.

Aku lalu mengangkatnya dengan kedua tanganku, berjalan dari kamar tidur kami, melalui ruang santai sampai ke pintu depan. Tangannya melingkar erat di leherku dengan lembut dan sangat romantis layaknya suami istri yang harmonis. Aku pun memeluk erat tubuhnya, seperti momen hari pernikahan kami 10 tahun yang lalu. Akan tetapi tubuhnya yang sekarang ringan membuatku sedih.

Pada hari terakhir, aku menggendongnya dengan kedua lenganku. Aku susah bergerak meski cuma selangkah ke depan. Putra kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluknya erat sambil berkata, “Aku tidak pernah memperhatikan selama ini hidup pernikahan kita telah kehilangan keintiman satu dengan yang lain.”

Aku mengendarai sendiri kendaraan ke kantorku, mampir ke tempat Jane. Melompat keluar dari mobilku tanpa mengunci pintunya. Begitu cepatnya karena aku takut jangan sampai ada sesuatu yang membuatku mengubah pikiranku. Aku naik ke lantai atas. Jane membuka pintu dan aku langsung berkata padanya. “Maaf Jane, aku tidak ingin menceraikan istriku.”

Jane memandangku penuh tanda tanya bercampur keheranan dan kemudian menyentuh dahiku dengan jarinya. Aku mengelak dan berkata, “Maaf Jane, aku tidak akan bercerai. Hidup perkawinanku terasa membosankan karena dia dan aku tidak memaknai setiap momen kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai satu sama lain. Sekarang aku menyadari sejak aku menggendongnya sebagai syaratnya itu, aku ingin terus menggendongnya sampai hari kematian kami.”

Jane sangat kaget mendengar jawabanku. Dia menamparku dan kemudian membanting pintu dengan keras. Aku tidak menghiraukannya. Aku menuruni tangga dan mengendarai mobilku pergi menjauhinya. Aku singgah di sebuah toko bunga di sepanjang jalan itu, aku memesan bunga untuk istriku. Gadis penjual bunga bertanya apa yang harus kutulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, “Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian menjemput.”

Petang hari ketika aku tiba di rumah, dengan bunga di tanganku, sebuah senyum menghias wajahku. Aku berlari hanya untuk bertemu dengan istriku dan menyerahkan bunga itu sambil merangkulnya untuk memulai sesuatu yang baru dalam perkawinan kami. Tapi apa yang kutemukan? Istriku telah meninggal di atas tempat tidur yang telah kami tempati bersama 10 tahun pernikahan kami.

Aku baru tahu kalau istriku selama ini berjuang melawan kanker ganas yang telah menyerangnya berbulan-bulan tanpa pengetahuanku karena kesibukanku menjalin hubungan asmara dengan Jane. Istriku tahu bahwa dia akan meninggal dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun begitu, dia ingin menyelamatkanku dari pandangan negatif yang mungkin lahir dari putra kami karena aku menginginkan perceraian, karena reaksi kebodohanku sebagai seorang suami dan ayah, untuk menceraikan wanita yang telah berkorban selama sepuluh tahun yang mempertahankan pernikahan kami dan demi putra kami.

Betapa berharganya sebuah pernikahan saat kita bisa melihat atau mengingat apa yang membuatnya berharga. Ingat ketika dulu perjuangan yang harus dilakukan, ingat tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi di antara kalian, ingat juga tentang janji pernikahan yang telah dikatakan. Semuanya itu harusnya hanya berakhir saat maut memisahkan.

——————

Sekecil apapun dari peristiwa atau hal dalam hidup sangat mempengaruhi hubungan kita. Itu bukan tergantung pada uang di bank, mobil atau kekayaan apapun namanya. Semuanya ini bisa menciptakan peluang untuk menggapai kebahagiaan tapi sangat pasti bahwa mereka tidak bisa memberikan kebahagiaan itu dari diri mereka sendiri. Suami-istrilah yang harus saling memberi demi kebahagiaan itu.

Karena itu, selalu dan selamanya jadilah teman bagi pasanganmu dan buatlah hal-hal yang kecil untuknya yang dapat membangun dan memperkuat hubungan dan keakraban di dalam hidup perkawinanmu. Milikilah sebuah perkawinan yang bahagia. Kamu pasti bisa mendapatkannya.

(Anonymous)

………….. June 13, 2012

Posted by tintaungu in Rapuh.
add a comment

“Aku merasa ada yang hilang,
tanpa tau apa yang sudah kutemukan..
Aku merasa menemukan,
tanpa tau apa yang sedang kucari..
Dan sepertinya aku masih mencari,
tanpa tau apa yang sudah hilang..”

(Qoute Film ‘Cinta Pertama’, Desember 2006)

Saat Cinta Tak Mampu Mempertemukan Kita March 25, 2012

Posted by tintaungu in Rapuh.
add a comment

Saat cinta merekah, semua terasa indah. Tak bisa dipungkiri, bahwa cinta ini dipercaya banyak orang memilki kekuatan yang unik dan dahsyat. Bisa mendekatkan yang jauh. Bisa menyatukan yang berbeda. Bisa menyulap yang sederhana menjadi sangat istimewa. 

Kerja cinta memang mengikat. Mengikat antara dua insan sehingga menjadi sepasang kekasih. Mengikat dua insan sehingga menjadi saudara. Mengikat dua insan sehingga menjadi sahabat. Semua bisa seperti itu karena kerja cinta. 

Dalam kehidupan berumah tangga, cinta perlu dihadirkan di sana. Bukan hanya memberi warna, namun juga menjadi ruh yang senantiasa menjaga nadi pernikahan agar tetap berdenyut. Jika cinta sudah tak ada, maka biasanya selesailah sebuah rumah tangga, karena tak ada lagi kekuatan yang mendorong masing-masing untuk tetap bersama atas nama cinta. 

Perselisihan bukanlah akhir dari segalanya di antara kita. ‘Berapa banyak perselisihan yang justru melahirkan kebersamaan .’

Kalimat syair di atas hanya akan terjadi jika masih ada cinta yang terus bekerja dan menyemai antara seseorang dengan pasangannya. 

Namun, melihat dimensi keagungan cinta, apakah ia sudah merupakan segalanya dalam kehidupan rumah tangga kita? 

Perlu kita sadari, bahwa keluarga muslim adalah keluarga yang berorientasi akhirat. Artinya, kebersamaan bersama dengan pasangan kita tentu juga harus diorientasikan jauh ke akhirat sana. Bukan hanya sebatas kehidupan dunia saja. Ketika jiwa meregang nyawa kemudian kebersamaan menjadi selesai begitu saja. Namun kebersamaan di sini harus berujung kebersamaan kelak di surga. 

Apakah cinta saja mampu menyatukan kita dengan pasangan kita kelak di akhirat? Mari kita simak baik-baik firman Allah Ta’ala, “Orang yang saling mencintai pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43] : 67) 

Kata Al-Akhillaa’ (Orang-orang yang mencintai) berasal dari kata al-khullah (cinta). Namun kata khullah ini artinya adalah cinta yang bukan hanya sekedar cinta. Khullah artinya adalah cinta yang begitu dalam dan besar. Karena itulah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mendapatkan gelar Al-khalil (Kekasih Allah). 

Akan tetapi, meskipun mereka di dunia memiliki kualitas cinta yang luar biasa, ternyata itu tidak cukup untuk membuat mereka bisa bersanding di surga. Tentu ada kekuatan lain, selain cinta, yang bisa menyatukan kita dengan pasangan kita kelak di Surga. Apa kekuatan itu? 

Allah mengatakan, “kecuali orang-orang yang bertakwa.” Artinya, orang-orang yang bertakwa mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan estafet cintanya sampai kelak di Surga. Pasangan Suami-Istri yang bertakwa kelak akan terus memadu cinta sampai ke Surga. 

Bagaimana hal itu bisa terjadi? 

Itu karena mereka melandaskan cinta mereka kepada pasangannya di atas pondasi ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Bangunan rumah tangga Muslim memang harus berdiri di atas pondasi takwa. Adapun cinta, tempatkan ia sebagaimana bidangnya, mengikat dan menyatukan kita dengan pasangan kita. Karena itu memang kerja cinta, bukan sebagai pondasi. Pondasinya adalah takwa. Jika itu tidak kita lakukan, maka bangunan rumah tangga kita terlalu ‘ringkih’ dan lemah untuk sanggup menopang kebersamaan sampai kelak di Surga. 

Allah Ta’ala berfirman, “Maka, apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas pondasi takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik? Ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunan itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah [9] : 109) 

Ayat di atas sebenarnya berbicara tentang masjid Dhirar, sebuah masjid yang dibangun oleh orang-orang kafir dengan tujuan untuk memata-matai ummat Islam di awal-awal hijrah ke Madinah. Sehingga kata bangunan itu berarti masjid. Namun, kata bangunan tersebut bisa kita kiaskan ke semua bentuk bangunan, termasuk bangunan rumah tangga. 

Sebuah rumah tangga yang dibangun di atas pondasi takwa akan hidup nuansa kebaikan di dalamnya. Mereka akan saling mengingatkan untuk senantiasa meniti jalur keta’atan kepada Allah. Bila pasangan khilaf dan kurang maksimal dalam beribadah kepada Allah, maka ia mengingatkannya dan memotivasinya agar terus meningkatkan kualitas ibadahnya. 

Inilah cinta yang hakiki. Cinta di atas pilar takwa. Cinta yang membuat seorang Suami tidak tega jika istrinya kelak sengsara di akhirat. Cinta yang membuat seorang Istri tidak rela jika Suaminya kelak dijadikan bahan bakar api Neraka. Sehingga kekuatan takwalah yang kini bicara. 

Kekuatan takwa yang akan mendorong Istri untuk selalu ta’at kepada Suami. Kekuatan takwa yang akan membuat Suami selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk masa depan akhirat Istri. Konteks bicaranya adalah akhirat. Sehingga jarum kompas biduk rumah tangga selalu diarahkan ke sana. 

Untuk keluarga yang seperti ini, kelak Allah akan berkata kepada mereka, “Masuklah kamu ke dalam surga dan isteri-isterimu (lalu) kamu akan dimuliakan.” (QS. Az-Zukhruf [9] : 70) 

Ar-Razi mengatakan, kata tuhbaruun (kamu akan dimuliakan), maksudnya kemuliaan disitu bukan hanya sekedar ‘ikram’ (kemuliaan biasa), tapi kemuliaan yang benar-benar dilebihkan. Hal itu diperkuat dengan penjelasan ayat setelahnya tentang bagaimana orang-orang bertakwa diperlakukan di Surga, “Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas dan cangkir-cangkir. Di dalam Surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata, dan kamu akan kekal di dalamnya. Dan itulah Surga yang diwariskan kepadamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang sebagiannya kamu makan.” (QS. Az-Zukhruf [9] : 71-73) 

Ternyata, ada kekuatan yang lebih dahsyat dari cinta. Kekuatan takwa. Sehingga sangatlah layak jika kita sampaikan risalah hati kita kepada pasangan kita. Bunyinya, 
‘Cintaku kepadamu menjadi tidak berarti, Jika tidak melahirkan rasa takut pada Ilahi’.

Biarkan cinta tetap bersemi. Biarkan takwa selalu memberi arti. Karena sesungguhnya aku ingin kita kelak tetap bisa bersama sampai meraih Surga-Nya.
 
(Sumber :  KembangAnggrek)

Doa Yang Tak Didengar February 4, 2012

Posted by tintaungu in Rapuh.
add a comment

Ada satu doa Nabi Muhammad SAW yang amat indah. “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari hati yang tidak khusyuk, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak lagi didengar.” (Jami’us Shaghir, hadis sahih). 

Doa ini singkat, padat, tetapi maknanya amatlah mendalam. Hadis ini mengupas tuntas empat pangkal masalah utama manusia. Masalah yang pertama dan utama adalah jika hatinya sudah tidak bisa lagi khusyuk, sehingga tak ada lagi rasa takut kepada Allah SWT, maka amaliah ibadahnya menjadi rutinitas yang menjemukan dan kering tanpa kenikmatan ibadah .

Jika kondisi ini sudah menguasainya maka ia akan dikenai penyakit berikutnya, yaitu ilmunya menjadi tidak lagi bermanfaat bagi akhiratnya. Semua cara akan dikerahkan untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, yakni dunia semata. Lalu, jika ia sudah dihinggapi penyakit kedua tersebut, maka jika dibiarkan ia akan melangkah pada stadium ketiga, yaitu nafsu yang tidak akan bisa kenyang, tak pernah mengenal puas, apa pun akan diterabas demi memuaskan keinginan hawa nafsunya. 

Dan, jika ia telah mengalami tingkat ini maka ia akan terkena stadium terakhir yang mematikan, yakni doanya tak lagi didengar oleh Allah. Jika ini yang terjadi maka mau tinggal di mana lagi kita ini. Bumi mana yang akan kita injak, langit mana tempat kita berteduh, jika doa kita sudah tidak lagi didengar oleh Allah SWT? 

Manusia semacam ini persis seperti yang digambarkan oleh Allah SWT: “Atau, seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-menindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS an-Nuur: 40). 

Melalui momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, saya menasihati diri saya sendiri dan kita sekalian untuk selalu merasa takut kepada Allah SWT dari kemaksiatan. Jika beribadah, maka lakukanlah dengan khusyuk, teteskan air mata saat menghadap Allah, karena dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita akan kembali. 

Kita berharap, ilmu yang dimiliki dapat menjadi cahaya yang selalu menuntun kita pada kebenaran, menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran, agar doa kita layak didengar dan dikabulkan Allah SWT. 

“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat-(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat per¬umpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nuur:35).  

Wallahu a’lam … 

(Tulisan: Habib Nabiel al-Musawa)

Kunjungan BJ Habibie ke Garuda January 27, 2012

Posted by tintaungu in Rapuh.
add a comment

Pada usianya 74 tahun, mantan Presiden RI, BJ Habibie secara mendadak mengunjungi fasilitas Garuda Indonesia didampingi oleh putra sulung, Ilham Habibie dan keponakannya(?), Adri Subono, juragan Java Musikindo. 

Kunjungan beliau dan rombongan disambut oleh President & CEO, Bapak Emirsyah Satar disertai seluruh Direksi dan para VP serta Area Manager yang sedang berada di Jakarta. 

Dalam kunjungan ini, diputar video mengenai Garuda Indonesia Experience dan presentasi perjalanan kinerja Garuda Indonesia sejak tahun 2005 hingga tahun 2015 menuju Quantum Leap. 

Sebagai “balasan” pak Habibie memutarkan video tentang penerbangan perdana N250 di landasan bandara Husein Sastranegara, IPTN Bandung tahun 1995 (tujuh belas tahun yang lalu!). 

Entah, apa pasalnya dengan memutar video ini? 

Video N250 bernama Gatotkaca terlihat roll-out kemudian tinggal landas secara mulus di- escort oleh satu pesawat latih dan sebuah pesawat N235. Pesawat N250 jenis Turboprop dan teknologi glass cockpit dengan kapasitas 50 penumpang terus mengudara di angkasa Bandung. 

Dalam video tsb, tampak para hadirin yang menyaksikan di pelataran parkir, antara lain Presiden RI Bapak Soeharto dan ibu, Wapres RI bapak Soedarmono, para Menteri dan para pejabat teras Indonesia serta para teknisi IPTN. Semua bertepuk tangan dan mengumbar senyum kebanggaan atas keberhasilan kinerja N250. Bapak Presiden kemudian berbincang melalui radio komunikasi dengan pilot N250 yang di udara, terlihat pak Habibie mencoba mendekatkan telinganya di headset yang dipergunakan oleh Presiden Soeharto karena ingin ikut mendengar dengan pilot N250. 

N250 sang Gatotkaca kembali pangkalan setelah melakukan pendaratan mulus di landasan…… 

Di hadapan kami, BJ Habibie yang berusia 74 tahun menyampaikan cerita yang lebih kurang sbb: 

“Dik, anda tahu…….saya ini lulus SMA tahun 1954!” beliau membuka pembicaraan dengan gayanya yang khas penuh semangat dan memanggil semua hadirin dengan kata “Dik” kemudian secara lancar beliau melanjutkan……“Presiden Soekarno, Bapak Proklamator RI, orator paling unggul, ….itu sebenarnya memiliki visi yang luar biasa cemerlang! Ia adalah Penyambung Lidah Rakyat! Ia tahu persis sebagai Insinyur…..Indonesia dengan geografis ribuan pulau, memerlukan penguasaan Teknologi yang berwawasan nasional yakni Teknologi Maritim dan Teknologi Dirgantara. Kala itu, tak ada ITB dan tak ada UI. Para pelajar SMA unggulan berbondong-bondong disekolahkan oleh Presiden Soekarno ke luar negeri untuk menimba ilmu teknologi Maritim dan teknologi Dirgantara. Saya adalah rombongan kedua diantara ratusan pelajar SMA yang secara khusus dikirim ke berbagai negara. Pendidikan kami di luar negeri itu bukan pendidikan kursus kilat tapi sekolah bertahun-tahun sambil bekerja praktek. Sejak awal saya hanya tertarik dengan ‘how to build commercial aircraft’ bagi Indonesia. Jadi sebenarnya Pak Soeharto, Presiden RI kedua hanya melanjutkan saja program itu, beliau juga bukan pencetus ide penerapan ‘teknologi’ berwawasan nasional di Indonesia. Lantas kita bangun perusahaan-perusahaan strategis, ada PT PAL dan salah satunya adalah IPTN. 

Sekarang Dik, …anda semua lihat sendiri…N250 itu bukan pesawat asal-asalan dibikin! Pesawat itu sudah terbang tanpa mengalami ‘Dutch Roll’ (istilah penerbangan untuk pesawat yang ‘oleng’) berlebihan, teknologi pesawat itu sangat canggih dan dipersiapkan untuk 30 tahun kedepan, diperlukan waktu 5 tahun untuk melengkapi desain awal, satu-satunya pesawat turboprop di dunia yang mempergunakan teknologi ‘Fly by Wire’ bahkan sampai hari ini. Rakyat dan negara kita ini membutuhkan itu! Pesawat itu sudah terbang 900 jam (saya lupa persisnya 900 atau 1900 jam) dan selangkah lagi masuk program sertifikasi FAA. IPTN membangun khusus pabrik pesawat N250 di Amerika dan Eropa untuk pasar negara-negara itu. Namun, orang Indonesia selalu saja gemar bersikap sinis dan mengejek diri sendiri ‘apa mungkin orang Indonesia bikin pesawat terbang?’ 

Tiba-tiba, Presiden memutuskan agar IPTN ditutup dan begitu pula dengan industri strategis lainnya. 

Dik tahu….di dunia ini hanya 3 negara yang menutup industri strategisnya, satu Jerman karena trauma dengan Nazi, lalu Cina (?) dan Indonesia….. 

Sekarang, semua tenaga ahli teknologi Indonesia terpaksa diusir dari negeri sendiri dan mereka bertebaran di berbagai negara, khususnya pabrik pesawat di Bazil, Canada, Amerika dan Eropa…… 

Hati siapa yang tidak sakit menyaksikan itu semua….? 

Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta Dollar dan N250 akan menjadi pesawat yang terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara manapun. 

Tapi keputusan telah diambil dan para karyawan IPTN yang berjumlah 16 ribu harus mengais rejeki di negeri orang dan gilanya lagi kita yang beli pesawat negara mereka!” 

Pak Habibie menghela nafas….. 

Ini pandangan saya mengenai cerita pak Habibie di atas; 

Sekitar tahun 1995, saya ditugaskan oleh Manager Operasi (JKTOF) kala itu, Capt. Susatyawanto untuk masuk sebagai salah satu anggota tim Airline Working Group di IPTN dalam kaitan produksi pesawat jet sekelas B737 yang dikenal sebagai N2130 (kapasitas 130 penumpang). Saya bersyukur, akhirnya ditunjuk sebagai Co-Chairman Preliminary Flight Deck Design N2130 yang langsung bekerja dibawah kepala proyek N2130 adalah Ilham Habibie. Kala itu N250 sedang uji coba terus-menerus oleh penerbang test pilot (almarhum) Erwin. Saya turut mendesain rancang-bangun kokpit N2130 yang serba canggih berdasarkan pengetahuan teknis saat menerbangkan McDonnel Douglas MD11. Kokpit N2130 akan menjadi mirip MD11 dan merupakan kokpit pesawat pertama di dunia yang mempergunakan LCD pada panel instrumen (bukan CRT sebagaimana kita lihat sekarang yang ada di pesawat B737NG). Sebagian besar fungsi tampilan layar di kokpit juga mempergunakan “track ball atau touch pad” sebagaimana kita lihat di laptop. N2130 juga merupakan pesawat jet single aisle dengan head room yang sangat besar yang memungkinkan penumpang memasuki tempat duduk tanpa perlu membungkukkan badan. Selain high speed sub-sonic, N2130 juga sangat efisien bahan bakar karena mempergunakan winglet, jauh sebelum winglet dipergunakan di beberapa pesawat generasi masa kini. 

Saya juga pernah menguji coba simulator N250 yang masih prototipe pertama….. 

N2130 narrow body jet engine dan N250 twin turboprop, keduanya sangat handal dan canggih kala itu….bahkan hingga kini. 

Lamunan saya ini, berkecamuk di dalam kepala manakala pak Habibie bercerita soal N250, saya memiliki kekecewaan yang yang sama dengan beliau, seandainya N2130 benar-benar lahir…..kita tak perlu susah-susah membeli B737 atau Airbus 320. 

***

Pak Habibie melanjutkan pembicaraannya…

“Hal yang sama terjadi pada prototipe pesawat jet twin engines narrow body, itu saya tunjuk Ilham sebagai Kepala Proyek N2130. Ia bukan karena anak Habibie, tapi Ilham ini memang sekolah khusus mengenai manufakturing pesawat terbang, kalau saya sebenarnya hanya ahli dalam bidang metalurgi pesawat terbang. Kalau saja N2130 diteruskan, kita semua tak perlu tergantung dari Boeing dan Airbus untuk membangun jembatan udara di Indonesia”. 

“Dik, dalam industri apapun kuncinya itu hanya satu QCD, dimana Q itu Quality, Dik, anda harus buat segala sesuatunya berkualitas tinggi dan konsisten, C itu Cost, Dik, tekan harga serendah mungkin agar mampu bersaing dengan produsen sejenis, D itu Delivery, biasakan semua produksi dan outcome berkualitas tinggi dengan biaya paling efisien dan disampaikan tepat waktu! Itu saja!” 

Pak Habibie melanjutkan penjelasan tentang QCD sbb: 

“Kalau saya upamakan, Q itu nilainya 1, C nilainya juga 1 lantas D nilainya 1 pula, jika dijumlah maka menjadi 3. Tapi cara kerja QCD tidak begitu Dik….organisasi itu bekerja saling sinergi sehingga yang namanya QCD itu bisa menjadi 300 atau 3000 atau bahkan 30.000 sangat tergantung bagaimana anda semua mengerjakannya, bekerjanya harus pakai hati Dik…….” 

Tiba-tiba, pak Habibie seperti merenung sejenak mengingat-ingat sesuatu …… 

“Dik, …saya ini memulai segala sesuatunya dari bawah, sampai saya ditunjuk menjadi Wakil Dirut perusahaan terkemuka di Jerman dan akhirnya menjadi Presiden RI, itu semua bukan kejadian tiba-tiba. Selama 48 tahun saya tidak pernah dipisahkan dengan Ainun, …ibu Ainun istri saya. Ia ikuti kemana saja saya pergi dengan penuh kasih sayang dan rasa sabar. Dik, kalian barangkali sudah biasa hidup terpisah dengan istri, you pergi dinas dan istri di rumah, tapi tidak dengan saya. Gini ya… saya mau kasih informasi… Saya ini baru tahu bahwa ibu Ainun mengidap kanker hanya 3 hari sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda dan tak pernah ada keluhan keluar dari ibu…..” 

Pak Habibie menghela nafas panjang dan tampak sekali ia sangat emosional serta mengalami luka hati yang mendalam……seisi ruangan hening dan turut serta larut dalam emosi kepedihan pak Habibie, apalagi aku tanpa terasa air mata mulai menggenang. 

Dengan suara bergetar dan setengah terisak pak Habibie melanjutkan…… 

“Dik, kalian tau….. 2 minggu setelah ditinggalkan ibu….. suatu hari, saya pakai piyama tanpa alas kaki dan berjalan mondar-mandir di ruang keluarga sendirian sambil memanggil-manggil nama ibu……… Ainun……… Ainun ………. Ainun …… saya mencari ibu di semua sudut rumah. 

Para dokter yang melihat perkembangan saya sepeninggal ibu berpendapat ‘Habibie bisa mati dalam waktu 3 bulan jika terus begini……’ mereka bilang ‘Kita (para dokter) harus tolong Habibie’. 

Para Dokter dari Jerman dan Indonesia berkumpul lalu saya diberinya 3 pilihan; 

1.Pertama, saya harus dirawat, diberi obat khusus sampai saya dapat mandiri meneruskan hidup. Artinya saya ini gila dan harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa! 2.Opsi kedua, para dokter akan mengunjungi saya di rumah, saya harus berkonsultasi terus-menerus dengan mereka dan saya harus mengkonsumsi obat khusus. Sama saja, artinya saya sudah gila dan harus diawasi terus…….. 3.Opsi ketiga, saya disuruh mereka untuk menuliskan apa saja mengenai Ainun, anggaplah saya bercerita dengan Ainun seolah ibu masih hidup. 

Saya pilih opsi yang ketiga……..” 

Tiba-tiba, pak Habibie seperti teringat sesuatu (kita yang biasa mendengarkan beliau juga pasti maklum bahwa gaya bicara pak Habibie seperti meloncat kesana-kemari dan kadang terputus karena proses berpikir beliau sepertinya lebih cepat dibandingkan kecepatan berbicara dalam menyampaikan sesuatu) ……. ia melanjutkan pembicaraannya; 

“Dik, hari ini persis 600 hari saya ditinggal Ainun…… dan hari ini persis 597 hari Garuda Indonesia menjemput dan memulangkan ibu Ainun dari Jerman ke tanah air Indonesia…… 

Saya tidak mau menyampaikan ucapan terima kasih melalui surat….. saya menunggu hari baik, berminggu-minggu dan berbulan-bulan untuk mencari momen yang tepat guna menyampaikan isi hati saya. Hari ini didampingi anak saya Ilham dan keponakan saya, Adri maka saya, Habibie atas nama seluruh keluarga besar Habibie mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, kalian, Garuda Indonesia telah mengirimkan sebuah Boeing B747-400 untuk menjemput kami di Jerman dan memulangkan ibu Ainun ke tanah air bahkan memakamkannya di Taman Makam Pahlawan. Sungguh suatu kehormatan besar bagi kami sekeluarga. Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan Garuda Indonesia” 

Seluruh hadirin terhenyak dan saya tak kuasa lagi membendung air mata………… 

Setelah jeda beberapa waktu, pak Habibie melanjutkan pembicaraannya; 

“Dik, sebegitu banyak ungkapan isi hati kepada Ainun, lalu beberapa kerabat menyarankan agar semua tulisan saya dibukukan saja, dan saya menyetujui…….. 

Buku itu sebenarnya bercerita tentang jalinan kasih antara dua anak manusia. Tak ada unsur kesukuan, agama, atau ras tertentu. Isi buku ini sangat universal, dengan muatan budaya nasional Indonesia. Sekarang buku ini atas permintaan banyak orang telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, antara lain Inggris, Arab, Jepang….. (saya lupa persisnya, namun pak Habibie menyebut 4 atau 5 bahasa asing). Sayangnya buku ini hanya dijual di satu toko buku (pak Habibie menyebut nama satu toko buku besar), sudah dicetak 75.000 eksemplar dan langsung habis. Banyak orang yang ingin membaca buku ini tapi tak tahu dimana belinya. Beberapa orang di daerah di luar kota besar di Indonesia juga mengeluhkan dimana bisa beli buku ini di kota mereka. 

Dik, asal you tahu…………semua uang hasil penjualan buku ini tak satu rupiahpun untuk memperkaya Habibie atau keluarga Habibie. Semua uang hasil penjualan buku ini dimasukkan ke rekening Yayasan yang dibentuk oleh saya dan ibu Ainun untuk menyantuni orang cacat, salah satunya adalah para penyandang tuna netra. Kasihan mereka ini sesungguhnya bisa bekerja dengan nyaman jika bisa melihat. 

Saya berikan diskon 30% bagi pembeli buku yang jumlah besar bahkan saya tambahkan lagi diskon 10% bagi mereka karena saya tahu, mereka membeli banyak buku pasti untuk dijual kembali ke yang lain. 

Sekali lagi, buku ini kisah kasih universal anak manusia dari sejak tidak punya apa-apa sampai menjadi Presiden Republik Indonesia dan Ibu Negara. Isinya sangat inspiratif……………….” 

(pada kesempatan ini pak Habibie meminta sesuatu dari Garuda Indonesia namun tidak saya tuliskan di sini mengingat hal ini masalah kedinasan). 

Saya menuliskan kembali pertemuan pak BJ Habibie dengan jajaran Garuda Indonesia karena banyak kisah inspiratif dari obrolan tersebut yang barangkali berguna bagi siapapun yang tidak sempat menghadiri pertemuan tsb. Sekaligus mohon maaf jika ada kekurangan penulisan disana-sini karena tulisan ini disusun berdasarkan ingatan tanpa catatan maupun rekaman apapun. 

Jakarta, 12 Januari 2012 

Salam,
Capt. Novianto Herupratom o 

( sumber : kaskus )

(Cerkak) Gegojegan Lelakon Urip January 6, 2012

Posted by tintaungu in Rapuh.
add a comment

Tak sawang kanthi kedhep tesmak, pawongan lencir ayu sing lagi nggandheng bocah udhakara umur 2 tahun ing njero toko buku ing sabrang saka kafe aku lungguh.

Esem iku aku ora lali, lan ora bakal lali. Esem iku isih kemanthil ing mataku senajan lelakon iku wus mungkur sepuluh tahun.

Dheweke dak kenal nalika Kerja praktek ana kantorku, wektu iku dheweke isih kuliah ana sawijining Perguruan Tinggi Negeri ana Surabaya lan wis semester akhir.  Awale aku sering digodha karo kanca-kanca saruwanganku. Pancen wektu iku aku isih lajang. Nanging ora ana sing ngerti menawa aku wis duwe pacangan. Amarga aku pancen ora nate ngenalake utawa crita bab Asti, pacanganku marang wong kantor. Asti kuliah ana Yogya, kari ngenteni wisudha. Sauntara aku wis nyambut gawe ana Surabaya, dadi komunikasiku karo Asti amung lewat hape. Lan kala-kala aku nyambangi ana Yogya. Lan nganti saiki sesambunganku karo dheweke isih apik-apik wae, nanging embuh sakjane ana rasa sepa ing atiku marang pacanganku iki.  Kadhang aku nakoni marang atiku, geneya rasa tresna iku ora nate ana ing atiku? Sing ana amung rasa welas asih, dheweke tanggaku putrane bulik Narti pensiunan guru SD, lan adhik kelasku ana SMA . Saka asring bareng budhal sekolah, saben dina tak ampiri. Aku dadi raket karo dheweke. Sering dijaluki tulung ngeterake menyang toko Buku, menyang omahe kancane belajar kelompok, lsp. Saengga wong-wong madani yen aku karo dheweke pacaran. Padhahal satemene ora ana rasa apa-apa antarane aku lan dheweke, saliyane pengen ngrengkuh dheweke kadidene adhiku. Aku welas marang dheweke amarga wis ditinggal bapake seda awit isih umur 2 tahun. Wektu cilikanku ibu sering ngutus aku ngeterake masakan utawa jajan sing di masak ibu menyang omahe. Dadi wajar yen aku nganggep dheweke adhiku. Saengga nalika wis padha gedhe aku bubar wisudha ibu nyuwun supaya aku gelem dipacangake karo dheweke, rasane aku ora bisa selak senajan jujur aku ora duwe rasa tresna marang dheweke. Nanging embuh rasane wektu iku ora ana pilihan liya kejaba dak trima usule ibu. Aku uga ora ngerti lan ora takon marang Asti apa dheweke duwe rasa tresna marang aku. Dheweke ora nolak berarti ya seneng karo aku, iku kesimpulanku. Sing jelas saiki statusku dadi pacangane wong, sedhela maneh sesambungan iki bakal karesmekake sawise Asti wisudha. Rencanane tahun ngarep. Nanging nganti saiki jujur wae tresna iku durung tuwuh ing atiku. Sanajan  aku wis janji bakal bangun bale omah karo Asti. Urip pancen amung bisa mili urut ilining banyu. Ah apa ya ngono?

Esuk iku ing kantor, ana paraga anyar mlebu, tibake arep kerja praktek. Kanca-kancaku wis padha umyeg dhewe-dhewe. Maklum ‘barang baru’, bocahe pancen ayu lencir kuning mrusuh. Lan kaya biasane aku sing dadi sasaran di bebeda. Awale aku ya mung mesam-mesem wae amarga pancen ora pati nggatekake apamaneh dheweke wong asing. Aku pancen terkenale dadi gunung es alias ‘coolman’. Apamaneh yen ngadhepi piyantun putri. Kaya-kaya aku wis ora butuh. Awit pancen aku wis duwe Asti. Dadi ngapa maneh mikiri wanita liya. Perkara aku ora tresna karo Asti iku urusane atiku. Sedina-dinane sering aku dipoyoki, dipacang-pacangake kanca putri sing isih bujang, nanging amung dak langgati biasa-biasa wae. Nganti kanca-kanca ki jan gemes yen karo aku. Malah nate ditakoni rada sembrana, “Awakmu ki jane lanang tenan apa ora ta?. Aku mung ngguyu rada sora. Suwe-suwe kanca-kanca waleh dhewe ngadhepi aku. Nganti ketekan bocah ayu iku. Jenenge Maharani. Apik kaya pawongane. Suwe-suwe aku dadi caket karo Maharani, ya merga pokale kanca-kanca. Sering yen istirahat awan aku dikongkon mbarengi dheweke golek maem awan, aku ora kabotan,tak kira aku ya ora bakal kepranan karo Maharani lan kanggo nyenengake atine kanca-kanca, ben aku ora dipaido thok. Tak  pikir amung sedina rong dina, pranyata Maharani praktek nganti sawulan. Akhire aku sing kepothokan ngeterake dheweke saben arep mundhut maem awan. Awale amung caturan biyasa, Dak takoni asale tibake saka Kedhiri, putrane juragan tahu takwa. Suwe-suwe caturan dadi gayeng, pranyata dheweke pawongan sing nyenengake. Bisa ngimbangi omonganku, ora ngira menawa dheweke jembar wawasane, ya masalah akademis, nganti masalah politik dheweke nyambung. Apamaneh hobine padha, maca buku filsafat. Aku malih dadi rada raket karo Maharani, nganti kanca-kanca padha moyoki, Lha Gunung Es kena watune. “Wah Gunung Es selerane ya dhuwur ya? Njaluke sing ayu, gandhes luwes”. Kaya biyasane mung dak langgati karo mesem, senajan saiki rasane beda, ana geter sing seje ing atiku. Dak ulati Maharani amung abang ireng pasuryane, nambahi ayune. Ah..Aku ora selak menawa aku mulai duwe rasa iku marang Maharani. Lan yen dak rasakake rasa iki ora keplok sesisih. Lagi iki aku ngrasakake geter sing seje marang wanita. Apa iki tresna?Ah embuh. Nanging saya dak ilangi rasa seje iku mau malah saya njiret atiku. Kepengine cedhak marang Maharani . Yen caturan bisa krasan jam-jaman. Malah aku wis wani dolan menyang kos-kosane. Wis sering mlaku-mlaku bareng menyang toko buku. Dheweke uga ora kabotan mlaku jejer karo aku. Malah sering ngalem karo aku. Nanging ngaleme ora norak. Senajan  sering metu bareng, maem bareng digandheng tangane wae dheweke ora gelem saengga aku uga banget njaga marang dheweke. Aku elok ing ngatase jaman kaya ngene isih ana piyantun wanita sing njaga kaluhuran iku. Iku nambahi respekku marang Maharani. Saya suwe rasane aku ora bisa kapisahake karo Maharani. Atiku wiwit goreh. Wiwit ora jenjem. Ana rasa abot kang nggandholi dina-dinaku akhir-akhir iki. Wiwit owel yen aku adoh saka Maharani. Aku ngerti tresnaku saya jero marang Maharani. Nanging aku uga ngerti menawa aku duwe janji marang wanita liya. Aku wis pacangan. Aku tresna Maharani nanging kepriye Asti? Aku kudu milih sapa? Aku bingung, aku wis kebulet dhewe karo dalan sing dak pecaki. Aku ora tega medhotake Asti nanging atiku kadung kegandholan Maharani. Nanging ing pojok atiku kandha aku ora bisa terus-terusan kaya ngene. Aku kudu bisa nemtokake sikap. Aku kudu duwe sifat satriya. Senajan ora nate ana tembung tresna kang kaucap saka lathiku marang Maharani, nanging patrap lan sikapku karo Maharani pancen ora bisa di dhelikake yen padha ana ati ing antarane aku lan dheweke. Kanca-kanca kantor malah wis padha njaluk undhangan nikahanku. Sembrana pancen, nanging aku ora selak yen wong liya mesthi bisa maca ana apa antarane aku lan Maharani. Aku rumangsa kedosan, bakal natoni ati suci iku. Nanging piye maneh, aku wis kadung duwe janji marang Asti, lan aku ora oleh selak saka kanyatan iku.  Atiku dadi remuk, perih dhewe yen ngelingi lelakonku iki. Aku wis matur ibu, ibu mung bisa nuturi, “Iku godhane wong arep jejodhowan Le, nanging kabeh terserah kowe, yen pancen arep mbatalake pepacanganmu karo Asti, mung terus terang ibu lingsem Le?” Aku tambah bingung…ngung.

Akhire sawijining dina dakwanek-wanekake methuki Maharani, aku bakal nuntasake lakon iki senajan atiku tan kena ginambarake kaya ngapa rojah-rajehe. Sawise Sholat Maghrib aku ngetokake mobil tumuju kosane Maharani, ora krasa luhku mili…ah wong lanang kok gembeng, mesthine aku  kudu bisa dadi satriya, ucape atiku. Tekan kose Maharani, Ibu  kose mbagekake tekaku, pranyata Maharani lagi ana kamar. Mesisan nyuwun idin karo ibu kos arep ngejak metu Maharani. Ibu Kos mung meling aja bengi-bengi mulihe. Aku pancen ora niyat suwe-suwe sapatemon iki. Aku milih ana kafe klangenanku, ana ngarep toko buku favoritku karo Maharani.

“Rani,” aku mbukani rembug, “Ana bab wigati kang pengin dak suntag, aku bingung Rani, bingung banget,”

“Ana apa Mas, sajake wigati temenan,”kandhane alus.

“Mesthine sliramu wis ngerti kaya ngapa tresnaku marang awakmu”, pratelaku sinambi ndhingkluk ora wani nyawang pasuryane.”Tresnaku lair tumus ing batin marang sliramu Ran, rasane uripku ora bisa kepisah karo sliramu. Nanging Ran, satemene aku uga duwe janji marang wanita liya sadurunge tekamu. Jujur Rani, aku wis duwe pacangan.”Kanthi swara abot aku kudu nelakake kahanan iki marang dheweke. Saiki sirahku dak angkat dak sawang manther pasuryan tanpa dosa ing ngarepku. Dheweke mlengak sedhela, kaget ora ngira bab iki. Tanpa kumecap apa-apa, Maharani ndhingkluk.

“Aku nyuwun pangapura Ran, sasuwene iki ora ana niyat gawe larane atimu, kowe ora bisa ngrasakake kaya ngapa ajure atiku saiki, ah saupama aku isih oleh milih, Ran.Nanging saiki wis ora ana pilihan kejaba aku kudu netepi janjiku marang Asti.” Sepi maneh, akhire Maharani nyuwara rada groyok,

“Ora dadi apa Mas, senajan aku uga abot, abot banget, lagi saiki aku bisa caket karo priya. Lan aku ora selak yen aku uga mambu ati marang panjenengan. Nanging nganti seprene sesambungan kita, panjenengan ora nate nelakake rasa tresna iku marang aku, lan lagi wengi iki kabeh kewiyak. Aku nyuwun ngapura Mas yen wis nggodha urip panjenengan sasuwene iki.” Eluh iku mbrebel alon ing pipine. “Aku rila yen Mbak Asti dadi pilihan penjenengan. Lan iku wis samesthine, panjenengan ora oleh cidra karo janji, awit iku ajining dhiri”, tambah groyok suwarane amarga nahan tangis. Eluh iku tambah deres. Aku ora kuwat melu mbrebes mili. Ora ngira atine uga jembar kaya wawasane.

“Aku nyuwun pangapura Rani, nanging aku pengin sliramu ngerti tresna iki ora bakal ilang saka atiku.”

“Ah panjenengan ora oleh ngono, bisa mirsani panjenengan bisa mulya karo Mbak Asti aku wis katut seneng, Mas, Nanging siji panyuwunku, panjenengan ora usah methuki aku selawase sawise iki, bakal dak simpen jero lelakon iki, Mas. Muga-muga panjenengan nemoni kamulyan ing tembe.”

Ah panyuwun sing abot, mbuh apa aku bakal bisa minangkani. Iku wengiku kang pungkasan ketemu Maharani.

Dina-dinaku bacute dak isi kanggo persiapan nikahanku. Dak sliyurake dina-dinaku sing abot tanpa Maharani kanthi kesibukan ing kantor, lan aku milih sering tugas luar kota kanggo ngilangi sepining ati, sering methuki Asti kanggo mbusak wewayangane Maharani, sanajan aku ngerti wewayangan iku ora bakal ilang, tresnaku kanggo Maharani selawase, senajan uripku kanggo wong liya. Akhire aku njaluk pindhah saka kantor Surabaya, aku ora kuwat yen kudu tetep kerja ana kantor iki, kantor kang kebak kenangan karo Maharani. Akhire aku pindhah menyang Balikpapan, lan sawise nikahanku Asti dak boyong nang kana.

Nganti sepuluh tahun mungkur saka sapatemonku terakhir karo Maharani, aku antuk tugas menyang Surabaya, sakjane aku rada aras-arasen, jujur aku tetep ora bisa mbusak lelakonku karo Maharani.Tatu iki durung pulih, lan aku ora pengen tatu iku kebukak maneh bakal nambahi ngerese atiku. Tresnaku marang Maharani, tresna kang tulus, tresna kang tanpa pamrih apa-apa senajan ta ora bisa sesandhingan omah-omah karo dheweke. Kaya tetembungan tresna ora kudu anduweni, ana benere karo lelakonku iki. Akhire kanthi rada kepeksa aku sida budhal menyang Surabaya, nganggo pesawat paling isuk. Tekan Juanda aku nuju hotel panggonanku nginep, lan cedhak karo kantorku. Rencanaku dina iki sawise urusan kantor mari aku kepengen niliki toko buku sing sering dak tekani karo Maharani, ah…Maharani maneh. Nganti saiki aku isih bisa minangkani panyuwune ora methuki dheweke. Lan muga-muga dheweke wis urip mulya karo sisihane lan anak-anake. Sanajan pengarep-arep bisa sesandhingan karo Maharani tetep ana ing pojok atiku. Maharani, kena apa jeneng iku ora bisa ilang saka telenging atiku. Ba’da Maghrib aku nyoba metu ngenggar-enggar ati, menyang toko buku kaya rencanaku isuk mau. Nalika mudhun taksi lagi eling yen kawit isuk wetengku mung klebon roti lan teh ing bandara, saiki lagi krasa ngelih. Akhire ora sida mlebu toko buku, aku mlebu kafe klangenanku ing ngarep toko buku iku. Pesen ayam goreng lalapan lan jus apel. Sinambi ngenteni pesenanku teka, aku ngiderake panyawang ndeleng suasana ing njaba, lan saka anggonku lungguh aku bisa nyetitekake kahanan ing toko buku ngarep iku. Ora sengaja mata iki kandheg marang sawijining pawongan kang nggandheng bocah cilik udakara rong taun. Maharani!!. Ya aku yakin iku Maharani !!. Aku ora bakal lali marang wanita kang wewayangane tansah kemanthil ing netraku. Maharani, isih kaya sepuluh taun kepungkur, senajan saiki wis nganggo jilbab. Malah nambahi perbawa lan anggune. Lan bocah cilik iku? Mesthi putrane, ah katone uripmu wis nemu kamulyan Rani, panguwuhku. Nanging sisihanmu kok ora katon? Aja-aja dheweke wis ijenan?Ah pikiran nglantur iku dak buwak adoh. Dak sawang terus wanita iku, nganti ora dak gape pelayan sing ngladekake pesenanku. Rasane ana daya kekuwatan kang angel dak bendhung, notol-notol ing ati iki. Aku kudu methuki wanita iku, panyuwune kudu  dak langgar pisan iki. Aku kudu ketemu. Aku kudu bisa sapatemon karo wanita iku. Ah Maharani, pangapurane sing gedhe yen wektu iki aku wis ora bisa minangkani panyuwunmu, cah ayu. Aku kudu ketemu sliramu, kudu…kudu…! Ah.. akhire kanthi ora sranta aku ngawe peladen, dak ulungi atusan ewon, tanpa nyenggol panganan sing dak pesen. “Sepurane mas aku kesusu, yen ana susuke kanggo sampeyan wae, suwun ya?!” setengah mlayu aku nyabrang dalan mlebu toko buku, dak clilengi, katon Maharani isih asyik milih buku karo bocah cilik iku.

“Assalaamualaikum, Rani”, alon aku uluk salam.

“Waalaaikum salam, “ Dheweke noleh, geter ing atiku tambah ora karu-karuwan, dheweke nyawang aku setengah ora percaya sapa sing diadhepi, nganti sauntara padha menenge, ora ana sing kumecap. 

Akhire aku mbukani rembug, “Pangapurane Rani, aku kepeksa nemoni awakmu, kaya kandhaku sepuluh taun kepungkur aku ora bakal bisa nglalekake sliramu.”

Wanita ing ngarepku mung nggeget lambe, kaya nahan tangis, ana cahya perih ing netrane.

“Panjenengan wis nglalekake panyuwunku, Mas” kandhane alon.

“Sepurane Rani,  yen ora kabotan, ayo lungguh sing rada kepenak, aja salah tampa Ran, aku mung pengen ngerti kabarmu, lan kahananmu saiki, sepisan maneh yen sliramu ora kabotan”

“Yen saiki aku ora bisa, Mas, anakku rada rewel, wis kesel arep bobuk, Mungkin sesuk wae jam kaya saiki ing kafe ngarep” pratelane.

“Matur nuwun, Rani, sesuk aku ora bakal lali.” Kandhaku.

“Aku nyuwun pamit ,Mas “ pamite

“Iya, Ran, ati-ati”

Sewengi aku ora bisa merem, ah wewayangane tansah ngreridhu uripku. Tresna iku wis kadhung nunjem kuat ing atiku, lan sawise sapatemon sore mau njalari aku perang batin, antarane seneng lan sedhih. Ah embuh.. amarga kesel aku keturon ing ndhuwure sajadah sawise tahajjud jam telu parak isuk.

Mari sholat maghrib, sore iku aku numpak taksi tumuju kafe panggonanku semayanan, Rani isih durung teka, aku nggolek panggonan sing ngadhep jendela nyawang pemandangan taman ing mburi kafe. Iki panggonan favoritku karo Rani. Ah Rani maneh…

“Sepurane, Mas rada telat, nitipne anakku menyang rewangku.”, swarane Rani saka mburiku, dak toleh, ah..wanita iki pancen sulistya ing warna. Nganggo busana muslim warna biru laut, ngisoran putih memplak, lan jilbab putih ana sulame pita biru. Aku mung mesem, mbagekake tekane, “Matur nuwun Rani, wis kersa rawuh ing kafe iki”.

“Priye kabarmu?” meh barengan aku lan Rani ngucapake ukara iku. Wong loro ngguyu bareng, “Siji-siji wae, saiki aku dhisik,”kandhaku.”Piye kabarmu saiki?, uripmu katon mulya,Ran”

“Alhamdulillah, ya ngene iki, aku apik-apik wae mas, lha panjenengan?” takone genti.

“Yah…kaya sing mbok deleng,”kandhaku

“Panjenengan rada kuru lo, saka sepuluh taun kepungkur Mas,”selane.

“Ah mosok iya?!,” kandhaku rada mongkog merga isih di perhatekna Rani. “Yen jareku ya pancet wae, sliramu sing malah rada kuru, nanging malah tambah ayu”, kandhaku rada sembrana. Dheweke mung mesem sinambi nyawang aku.

”Wiwit kapan jilbaban?” takonku

“Wiwit sadurunge wisuda” jawabe cekak.

“Garwamu ora takon menyang ngendi sliramu saiki?” takonku rada ati-ati.

“Ora, Mas”jawabe cekak aos. Atiku angluh, embuh kena apa.

“Saiki ngasta ana ngendi kok ora nate katon ing kantor Surabaya?” takone kaya ngalihake omongan.

“Ya,aku pindhah nang Balikpapan, rasane abot urip tanpa sliramu, Ran, aku ora sanggup yen tetep ana Surabaya, lan uga ora apik kanggone awakku wektu iku.” Pratelaku jujur. Dheweke mung tumungkul.

“Putramu wis pira Ran?” takonku mecah sepining swasana, sing ndadak sepi nyenyet merga pratelaku.

“Siji” jawabe cekak aos maneh, “Mbak Asti putrane wis pira?”

“Durung ana Ran, durung dikersakNe.” Jawabku ampang.

Sepi mamring, kabeh kegawa karo alam pikirane dhewe-dhewe. Sawise jagongan ngalor ngidul, akhire sawise nuntasake pesenane maem, Rani nyuwun pamit, merga wis bengi. Aku uga pamit yen sesuk kudu bali menyang Balikpapan merga tugasku wis rampung. Lan aku ngajab liya dina bisa ketemu maneh. Dak tawani mulih bareng tibake dheweke wis nggawa mobil dhewe. Lan nalika dheweke nawani ngeterake aku menyang hotel dak tolak alus, ora pantes jejere wong lanang di terake wanita wis bengi pisan. Lan aku milih mbalik menyang hotel numpak taksi. Dak sawang mobil kijang Innova iku tleser-tleser ninggalake parkiran kafe. Ninggal atiku kang bali sepi. Rani ora salah, aku saiki kuru merga ora kaurus. Ah saupama dheweke isih legan, isih dhewekan mungkin wengi iki bakal ana crita anyar antarane aku lan dheweke, amerga Asti tilas pacanganku sing dadi bojoku tilar donya setaun sawise omah-omah. Kena kanker ati. Dadi pancen aku durung sempat diparingi momongan wis kedhisikan Asti tinimbalan ing ngarsaNe. Lan sawise iku aku nyoba nggoleki Rani, nanging kaya ana sing menging nganti sepuluh taun aku lagi ketemu Rani maneh. Nanging critane wis seje, dheweke wis urip mulya karo anak bojone. Lan aku bakal bali sepi maneh ngadhepi dina-dinaku.

Seje maneh critane Maharani, sawise metu saka plataran parkiran. Pikirane nglambrang adoh banget, “Ah katone dheweke wis urip mulya karo Mbak Asti, senajan durung diparingi momongan, saumpama dheweke isih ijenan kaya pengarep-arepku wingi”. Maharani kepengin ngrajut tali tresna iku maneh. Ah saumpama dheweke ngerti yen sepuluh taun iki Maharani isih ijenan wae. Lan anak sing mbok takokake, bocah lola sing ditinggal wong tuwane ing salah sawijining Panti Asuhan sing di donaturi selawase iki. Dudu darah daginge Maharani. Mungkin panjenengan ngira iku anakku, pangirane. Yen aku njawab anakku siji merga pancen aku wis duwe anak pupon siji, yen panjenengan takon garwaku apa ora nesu aku nemoni panjenengan tak jawab ‘ora’ merga aku pancen durung nate duwe sisihan. Aku keraya-raya golek gaweyan menyang Surabaya kareben bisa cecaketan karo panjenengan, nanging ing kene aku mung nemu sepi ora nate nemoni panjenengan.

Ah lelakon urip, kaya gojegan, saumpama sore iku kekarone gelem blaka suta sejatine awake dhewe-dhewe mungkin bakal seje critane. Ah lelakon embuh kadhang kita ora ngerti kersaNe…

Sumber: basajawa.wordpress.com

Dicintai December 28, 2011

Posted by tintaungu in Rapuh.
add a comment

Jangan pernah berhenti untuk minta dicintai. Kita akan membuat cinta mengalir.

Orang suka gengsi. Begitu dicuekin orang, dia marah. Begitu tidak diacuhkan kekasih, dia pundung. Sakit hati.

Karena tidak mau sakit hati terulang, dia menutup diri. Dia mengeraskan hati. Tidak mau lagi minta dicinta. Daripada nanti ditolak lagi, ya.

Tapi akibatnya, cinta tidak mengalir. Kehangatan tidak menjalar. Ujungnya kehidupan berhenti. Karena cintalah yang menggerakkan kehidupan.

Kalau hati kita dilembutkan, terbuka, dan selalu meminta untuk dicintai, maka gelombang cinta itu bisa dipicu untuk merambat. Seperti beda tegangan listrik. Listrik mengalir dari anoda ke katoda.  Orang berusaha untuk menaikkan tegangan listrik, agar terjadi anoda. Padahal tidak harus selalu begitu. Dengan menurunkan tegangan listrik, maka anda menjadi katoda. Tidak penting anda menjadi anoda atau katoda, selama terjadi perbedaan tegangan, listrik langsung didorong untuk mengalir deras.

Dan sebagai katoda, alam akan menyediakan anoda di mana-mana. Bisa tidak terduga.

Ada sebuah true story. Seorang kakek sedang menangis sendirian di teras depan rumahnya karena baru ditinggal mati istrinya. Seorang anak tetangga berusia empat tahun melihat peristiwa itu, kemudian memanjat pagar, berjalan melintasi rumput halaman, naik ke teras, dan duduk diam dipangkuan kakek itu. Diam di situ selama kakek menangis. Saat ditanya ibunya, dia ngomong apa saja pada kakek itu, si bocah itu menjawab, “Nggak ada, aku cuma menolong kakek menangis…”. Nothing, I just helped him cry…

Mungkin selama ini anda merasa tidak dipedulikan orang. Tidak dicintai. Kemudian anda mengeraskan hati, merasa tidak perlu dan tidak peduli. Saya cuma pengen bilang, jangan begitu. Jangan berhenti untuk minta dicintai. Never stop asking for love.

You can start by asking God…

Sumber: tulisan Armein ZRL