jump to navigation

Menata Hati September 23, 2010

Posted by tintaungu in Reksa.
add a comment

Sebuah artikel menarik, ditulis oleh Syaifoel Hardy di kotasantri.com, semoga bermanfaat..

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika kamu ingin memutuskan persaudaraan, pinjamlah uang.” Rasulullah SAW wajar mengingatkan akan hal ini lantaran kita biasanya gampang lupa dan mengingkari janji. Yakni janji mengembalikan utang kepada si empunya. Inilah akar permasalahannya.

Uang memang besar sekali peranannya dalam hidup ini. Begitu besarnya nilai uang ini sehingga ada pepatah yang mengatakan, “Segala sesuatu bisa dibeli dengan uang, termasuk persahabatan dan persaudaraan.” Bahkan dalam jalinan kehidupan rumah tangga pun kita mengenal, “Ada uang abang disayang. Tak ada uang abang ditendang.”

Kita tidak menolak, uang memegang peran vital. Tanpa uang, hidup kita bisa sengsara. Apalagi pada zaman sekarang ini. Tanpa uang, kita tidak bisa memiliki fasilitas hidup. Fasilitas itu dibutuhkan guna meraih cita-cita dan tujuan mulia, misalnya saja amal, belajar, hingga beribadah ke Baitullah di Makkah, Saudi Arabia, yang tidak mungkin terlaksana tanpa campur tangan uang.

Namun uang bukanlah segalanya. Dalam arti, jangan hanya karena uang kemudian kita jadi terhalang untuk menjamu tamu, membantu teman yang kekurangan, mengasihi anak yatim, hingga membantu saudara lain yang membutuhkan. Jangan hanya karena uang, persaudaraan dan persahabatan jadi terhalang. Jika cara kita memperlakukan uang sedemikian, sebenarnya kita sudah diperbudak oleh uang. Contoh konkrit orang yang diperbudak dan dibelenggu hidupnya oleh uang dan harta adalah Qarun di zaman Nabi Musa AS. Kehidupannya yang glamor dan bermandikan kemewahan berakhir tragis. Uang dan hartanya yang tersimpan dalam gudang di mana unta-untanya tidak sanggup memanggul kunci-kuncinya, ternyata tak mampu menyelamatkan dirinya.

Sebaliknya, justru kita yang seharusnya mengendalikan uang. Kitalah aktor utama yang memerankan penggunaan dan pembelanjaan uang tersebut. Pemanfaatan uang yang tepat dan benar akan memberikan kepuasan kepada pemiliknya. Karena uang, kelak, kita akan dimintai pertanggungjawaban pengeluarannya.

***

Beberapa tahun lalu, jauh sebelum mendengar hadits Rasulullah SAW tentang bahaya pinjam-meminjam uang ini, aku pernah memiliki seorang teman baik. Dia sering datang mengunjungiku. Dia berdarah campuran. Tapi tidak perlu aku ungkapkan di sini. Selain kurang etis, lagi pula bukan itu tujuanku. Persoalan pinjam-meminjam tidak memandang darah dan warna kulit. Tujuanku adalah agar pembaca bisa mengambil hikmah dari perjalanan hidup yang berharga ini.

Temanku tadi, sebut saja Fulan namanya, memang pandai bergaul. Dia amat dikenal oleh rekan-rekan lainnya sebagai orang yang banyak membantu, misalnya dalam hal antar-jemput lantaran dia punya kendaraan. Juga denganku. Itu tidak berarti aku memanfaatkan kendaraannya demi kepentingan pribadiku. Kami sebatas pada teman baik, tidak terlalu dekat. Artinya, dia bisa datang ke tempatku at any time. Kami juga biasa makan bersama. Kami bahkan sharing masalah-masalah pribadi.

Dalam berteman, sudah selayaknya kita tidak perlu menaruh curiga terhadap segala kebaikan. Kecurigaan merupakan awal keretakan hubungan persahabatan dan persaudaraan. Sekalipun kecurigaan tersebut benar adanya. Begitulah ikatan pertemanan antara aku dan Fulan pada bulan-bulan berikutnya. Aku berusaha melenyapkan sedikit keraguan atau kecurigaan yang tersimpan di dada.

Suatu hari, Fulan mengatakan akan membuka sebuah usaha di kota dan menawarkan aku untuk menjadi salah satu karyawan part timer-nya. Padahal dia tahu bahwa aku tidak memiliki latar belakang bisnis sama sekali. Sementara untuk memulai sebuah usaha, pengenalan akan kiat bisnis itu memegang peranan utama. Begitu menggebu dia kemukakan rencana tersebut.

Sebenarnya, aku tidak terlalu tergoda dengan tawaran tersebut. Selain tidak memiliki latar belakang bisnis, aku sudah punya pekerjaan tetap. Dia bisa mencari orang lain yang lebih tepat mestinya. Anehnya, dia bersikukuh memilihku. Katanya, aku orang yang tepat untuk dipilih. Sebuah keputusan yang menurutku ‘ceroboh’.

Sementara, hingga sejauh itu pertemanan kami, aku tidak pernah mengetahui apa sebenarnya pekerjaan tetap si Fulan. Dia selalu memiliki segudang jawaban untuk mengantisipasi pertanyaan ini. Aku pun tidak mau mengejar. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi rasa hormatku kepadanya. Hingga suatu hari, dia kemukakan bahwa dia membutuhkan sejumlah uang dan berjanji untuk mengembalikan dalam jangka waktu satu bulan. Denyut jantungku ‘berdetak’ keras ketika dia kemukakan niat yang satu ini. “Inikah awal keretakan hubungan kami?” Aku berusaha berbisik pada diri sendiri.

Hal yang paling berat bagi diriku adalah berbohong. Mengatakan tidak punya uang itu berarti tidak jujur karena pada dasarnya aku memilikinya. Akan tetapi untuk meminjamkan uang sebesar Rp. 9 juta, bukan angka yang sedikit. Apalagi jika peminjamnya adalah seorang teman. Di tengah-tengah kegundahan antara meminjamkan dan tidak, aku akhirnya berpedoman pada berprasangka baik itu perbuatan mulia. Aku pun pinjami Fulan uang yang buat ukuranku cukup besar duabelas tahun lalu itu. Dengan catatan, dia akan kembalikan sesudah satu bulan.

Rasulullah SAW benar, tidak terhitung orang-orang yang menjadi korban akibat pinjam meminjam uang ini. Persaudaraan, persahabatan, hingga rumah tangga semuanya bisa berantakan. Kadang pecah, tidak jarang harus berakhir di penjara. Malah ada yang nyawa harus jadi taruhannya.

Yang terjadi pada diriku kemudian adalah, Fulan tidak menepati janjinya. Satu bulan, dua bulan sesudah pinjam, dia tidak pernah lagi nongol. Sebagai manusia biasa, aku mulai dongkol. Setiap kali aku coba hubungi, dia selalu mengelak. Aku pun cepat mengambil kesimpulan, bahwa ini adalah penipuan. Buntutnya, ternyata bukan hanya aku yang jadi korban. Sejumlah rekan-rekan anggota organisasi, telah pula dilalapnya. Astaghfirullah! Sedemikian murahkah nilai persahabatan kami selama ini?

Aku kemudian berusaha menyetop niat buruknya agar tidak merambat. Aku yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan agama yang cukup baik hanya bermaksud agar jumlah korban penipuan ini jangan berdomino. Merambat ke sana ke mari. Sebagai salah satu pengurus aktif organisasi, aku sebarkan informasi ke teman-teman, agar berhati-hati jika menghadapi Fulan dalam persoalan uang. Fulan pun tidak pernah muncul lagi. Sejak saat itu, kami tidak tahu ke mana rimbanya.

“Allah Mahakaya. Allah Ta’ala bakal mengganti kerugian yang menimpa diriku.” Begitulah keyakinanku waktu itu. Aku percaya, bahwa di balik peristiwa ini, pasti ada maksud baik dariNya. Bisa saja karena selama ini aku tergolong orang yang pelit. Atau aku termasuk orang yang sulit beramal. Atau harta yang aku peroleh harus dicuci dengan cara seperti ini. Atau, inilah cobaan, apakah aku termasuk orang yang sabar atau tidak. Aku mencoba belajar ikhlas dengan kenyataan pahit ini.

Subhanallah! Memang benar janji Allah! Beberapa saat kemudian aku diberikanNya pekerjaan yang lebih baik. Aku mendapatkan pekerjaan baru dan kemudian pindah kerja. Aku diberi pula kesempatan untuk memperbaiki wajah rumah orangtua. Malah Allah memberikanku sebuah rumah yang dibeli oleh mendiang Ibuku dengan harga murah sekali. Orang bilang, rumah yang kami beli ibaratnya sebuah pemberian. Belum lagi kesempatanku bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Masih jutaan lagi kenikmatan-kenikmatan duniawi yang tidak bisa aku hitung di sini. Ya Allah! Buah dari keikhlasan lantaran ditipu orang lain ini begitu berkesan di hatiku. Aku bersyukur kepadaNya.

***

Dua pekan lalu, ketika membeli pulsa, aku salah memberikan nomor telepon genggamku kepada sang penjual. Bukannya 534 8865, namun 534 6685. Pulsa yang kubeli seharga sekitar 125 ribu. Ketika aku tanya apakah mungkin dikoreksi atau ditarik kembali duit tersebut, sang penjual bilang tidak mungkin. Seorang teman yang mengantarku membeli pulsa, marah kepadaku, katanya aku ceroboh, teledor, dan selalu begitu. “Nggak usah kuatir. Aku insya Allah akan mendapatkannya kembali!” jawabku ringan terhadap rekanku tadi. Sungguh, tidak seperti biasanya, kealpaan kali ini sangat aku tidak mengerti. Lupa dengan nomor teleponya sendiri? “No way!!” kata temanku.

Yang aku tempuh kemudian adalah menelepon pemilik nomor HP yang ‘mirip’ dengan punyaku. “Insya Allah akan saya kembalikan duitmu. Akan saya isi HP-mu dengan nilai pulsa yang sama!” jawab pemilik nomor tersebut yang melegakan hatiku.

Hari berikutnya aku tunggu. HP-ku belum juga bertambah pulsanya. Hari kedua, hujan deras seharian. Aku tidak berharap orang tersebut akan ke luar rumah dan membelikanku pulsa. Kurang sedikit sabar, aku kirim SMS kepadanya, sekedar mengingatkan. Karena orang, seperti halnya aku, bisa lupa. Tidak ada respon.

Demikian pula pada hari ketiga. Namun keyakinanku tidak reda, bahwa orang tersebut insya Allah tidak akan mengingkari janjinya. Pengalaman masa lalu mengajarkanku kepositifan akan hal-hal seperti ini. Kalaupun tidak dikembalikan, aku sudah ikhlas.

Benar juga! Tengah malam, tepatnya jam 01.00 dini hari, HP-ku berdering. “Hallo…! Assalamu’alaikum. Pulsa anda sudah aku isi!” kata suara di sana. “Jazakallah!” jawabku lirih di antara tidur dan terjaga.

***

Mengantisipasi rasa kecewa karena ditipu atau menerima konsekuensi kelalaian kita yang menyebabkan kerugian, bukanlah suatu hal yang gampang. Ikhlas itu berat dan membutuhkan waktu lama mempraktekannya. itu bukan berarti kita tidak bisa melakukannya.

Mari kita kembalikan segala sesuatu kepada Allah dan kita tanamkan diri serta berkeyakinan penuh bahwa hanya DIA lah yang akan memberikan ganti rugi yang jauh lebih baik. Segala yang kita miliki, hakekatnya bukan milik kita. Jadi, tidak ada yang perlu dikuatirkan, apalagi digelisahkan. Kekuatiran dan kegelisahan akan buang tenaga dan pikiran yang sia-sia. DIA-lah yang Maha Memiliki. DIA-lah yang memiliki semua yang kita ‘punya’. Kalau DIA mau, akan diambil semua yang kita punya, atau akan dikembalikan apa yang telah hilang dari genggaman tangan kita. Maka dari itu, segala sesuatu yang hilang, jika tidak kembali sesudah ikhtiar, ikhlaskanlah.

Dua pengalaman pribadi di atas membuktikan, selain efektif dalam menanggulangi kegelisahan jiwa, juga merupakan obat mujarab dalam menata hati kita agar menjadi lebih dewasa dan bijaksana.

Wallahu a’lam.

                                                                         .

Silaturahim, Menyambung Tali yang Putus September 5, 2010

Posted by tintaungu in Reksa.
add a comment

(Tulisan Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dari buku Lentera Hati)

Setiap kali menjelang Idul Fitri, arus mudik demikian besar. Banyak penduduk kota yang kembali ke kampung halaman, bersilaturahim sambil berlibur, bernostalgia, bahkan mungkin juga – sebagaimana disinyalir oleh beberapa pengamat – memamerkan sukses yang telah diraih di kota.ide mudik sendiri, selama dikaitkan dengan silaturahim, merupakan ajaran yang dianjurkan oleh agama.hal ini dapat dilihat dari akar kata dan pengertian silaturahim.

Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata yang berarti “menyambung”, dan “menghimpun”. Ini berarti bahwa hanya yang putus dan yang berseraklah yang dituju oleh kata shilat. Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti “kasih sayang” kemudian berkembang sehingga berarti pula “peranakan” (kandungan), karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.

Tidak jaranghubungan dantara mereka yang berada di kota dan di kampung sedemikian renggang – bahkan terputus – akibat berbagai faktor. Dan dengan mudik yang bermotifkan silaturahim ini akan terjalin lagi hubungan tersebut; akan tersambung kembali yang selama ini putus serta terhimpun apa yang tersentak. Yang demikian inilah yang dinamakan hakikat silaturahim. Nabi saw. Bersabda: “Tidak bersilaturahim (namanya) orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi (yang dinamakan bersilaturahim adalah) yang menyambung apa yang putus” (Hadis Riwayat Bukhari).

Itulah puncak silaturahim, yang dapat diwujudkan oleh mereka yang mudik dan juga oleh mereka yang tetap tinggal di kota bila ia berusaha mengingat-ingat siapa yang hatinya pernah terluka oleh ulahnya atau yang selama ini jarang dikunjungi akibat kesibukannya. Mudik dan kunjungan seperti inilah yang dinamakan dengan menyambung kembali yang putus, menghangatkan, dan bahkan mencairkan yang beku.

Sungguh baik jika ketika mudik, atau berkunjung, kita membawa sesuatu – walaupun kecil – karena itulah salah satu bukti yang paling konkret dari rahmat dan kasih sayang. Dari sinilah kata shilat diartikan pula sebagai “pemberian”. Dan tidak ada salah seorang yang mudik menampakkan sukses yang diraih selama ini asalkan tidak mengandung unsur pamer, berbangga-bangga, dan pemborosan. Lebih-lebih jika yang demikian itu akan mengantar kepada kecemburuan sosial. Menampakkan sukses dapat merupakan salah satu cara mensyukuri nikmat Allah, sebagaimana sabda Rasul saw.: “Allah senang melihat hasil nikmatnya (ditampakkan) oleh hamba-Nya.”

Adapun nikmat Tuhanmu maka ucapkan (sampaikanlah) (QS 93:11). Sebagian mufasir memahami ayat ini sebagai perintah untuk menyampaikan kepada orang lain dalam bentuk ucapan atau sikap betapa besar nikmat Allah yang telah diraihnya. Mudik berlebaran adalah hari gembira yang berganda: gembira karena lebaran dan gembira karena pertemuan. Di sini setiap yang mudik hendaknya merenungkan pesan Ilahi: Jangan bergembira meampaui batas terhadap apa yang dianugerahkan (Tuhan) kepadamu, (kegembiraan yang mengantar kepada keangkuhan dan lupa diri). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangakan diri (QS 57:23).
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari silaturahim yang telah kita lakukan.

—–
‘tintaungu’ Mengucapkan Mohon Maaf Lahir Batin

                                                           .