jump to navigation

Jatuh Cinta sebagai Kejadian Spiritual November 29, 2007

Posted by tintaungu in Rona.
add a comment

Penulis: Gede Prama

Setiap orang pernah jatuh cinta. Umumnya, jatuh cinta itu terjadi pada orang dengan lawan jenis. Tidak ada satupun kata-kata yang bisa mewakili perasaan jatuh cinta. Sebutlah kata senang, gembira, bahagia, bergetar, berdebar, takut kehilangan, cemburu, ingin selalu bersama, semua terlihat bersinar dan menyenangkan, tetap saja tidak bisa mewakili seluruh nuansa jatuh cinta.

Biasanya yang lama diingat orang melalui kejadian-kejadian jatuh cinta adalah perasaan-perasaan yang ada di dalam. Memegang tangan pasangan saja membuat jantung berdebar. Melihat matanya yang dibalut senyum bisa membuat terkenang-kenang selamanya. Kata-kata pertama yang menunjukkan lawan jenis kita tertarik dan jatuh cinta pada kita, bisa menjadi satu rangkaian kalimat yang terdengar di telinga setiap hari. Memperhatikan rambut, tata krama, cara berpakaian, cara bicara lawan jenis kita, semuanya tampak pas dan sempurna. Dan pada akhirnya membuat kita seperti memiliki dunia ini seorang diri.

Inilah rangkaian hal yang membuat cinta diidentikkan dengan perasaan (feeling). Banyak sudah lagu, film, sinetron, novel, syair, puisi yang lahir dari sumber cinta sebagai perasaan. Kalau kemudian banyak yang memberikan kesan cinta itu cengeng, lemah, tangisan dan sejenisnya, itu hanyalah sepenggal pemahaman tentang cinta sebagai perasaan.

Ada dimensi kedua dari cinta yang layak dicermati setelah cinta sebagai perasaan, yakni cinta sebagai sebuah kekuatan (power). Coba perhatikan pengalaman jatuh cinta kita masing-masing. Ada kekuatan maha dahsyat yang ada di dalam diri, yang membuat badan dan jiwa ini demikian perkasanya. Seolah-olah disuruh memindahkan gunungpun rasanya bisa. Hampir tidak ada penugasan dari lawan jenis yang kita cintai yang tidak bisa diselesaikan. Mulut ini seperti dengan cepatnya berteriak : bisa !

Bermula dari pemahaman seperti inilah maka Deepak Chopra dalam The Path To Love, menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Ia tidak semata-mata bertemunya dua hati yang cocok kemudian menghasilkan jantung yang berdebar-debar. Ia adalah tanda-tanda hadirnya sebuah kekuatan yang dahsyat. Persoalannya kemudian, untuk apa kekuatan dahsyat tadi dilakukan.

Kaum agamawan nan bijaksana menggunakan kekuatan terakhir sebagai sarana untuk bertemu Tuhan. Usahawan yang berhasil menggunakan tenaga maha besar ini untuk menekuni seluruh pekerjaannya. Ibu yang mencintai keluarganya mengabdikan seluruh tenaganya untuk mencintai anak dan suaminya. Pekerja yang menyadari kekuatan ini menggunakannya untuk bekerja mencari harta di jalan-jalan cinta. Banyak orang yang dijemput keajaiban karena kemampuan untuk membangkitkan tenaga maha dahsyat ini.

Anda bisa bayangkan, tentara Inggris yang demikian perkasa harus pergi dari India karena kekuatan cinta Mahatma Gandhi beserta pejuang lainnya. Negeri ini dideklarasikan secara amat gagah berani melalui cinta duet Sukarno-Hatta. Demokrasi Amerika berutang amat banyak pada cinta George Washington. Raksasa elektronika Matsushita Electric dibangun di atas tiang-tiang cinta Konosuke Matsushita. Microsoft sampai sekarang masih dipangku oleh kecintaan manusia luar biasa yang bernama Bill Gates. Sulit membayangkan bagaimana seorang Jenderal besar Sudirman bisa memimpin pasukan melawan Belanda dengan badan yang sakit-sakitan, kalau tanpa modal cinta yang mengagumkan. Wanita perkasa dengan nama Kartini mengambil resiko yang demikian tinggi untuk mengangkat derajat kaumnya, apa lagi yang ada di baliknya kalau bukan kekuatan-kekuatan cinta.

Boleh saja Anda menyebut rangkaian bukti ini sebagai serangkaian kebetulan, tetapi saya lebih setuju dengan Deepak Chopra yang menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Dari sinilah sang kehidupan kemudian menarik kita tinggi-tinggi ke rangkaian realita yang oleh pikiran biasa disebut luar biasa. Di bagian lain bukunya, Chopra menulis : merging with another person is an illusion, merging with the Self is the supreme reality. Bergabung dengan orang lain hanyalah sebuah ilusi, tapi bergabung dengan sang Diri yang sejati, itulah sebuah realita yang maha utama.

Jatuh cinta sebagai kejadian spiritual, yang dituju adalah bergabungnya diri kita dengan Diri yang sejati. Ada yang menyebut Diri sejati terakhir dengan sebutan Tuhan, ada yang memberinya sebutan kebenaran, ada yang menyebutnya dengan inner life, dan masih banyak lagi sebutan lainnya. Apapun nama dan sebutannya, ketika Anda menemukannya, kata manapun tidak bisa mewakilinya. Yang ada hanya : ahhhhh !

Serupa dengan pengalaman jatuh cinta ketika kita masih muda, di mana semua unsur badan dan jiwa ini demikian kuat dan perkasanya, demikian juga dengan jatuh cinta sebagai kejadian spiritual. Ia mendamaikan, menggembirakan, mencerahkan, mengagumkan dan menakjubkan. Dan yang paling penting, semuanya kelihatan serba sempurna. Air sungai, daun di pohon, desir angin, suara ombak, wajah pegunungan, demikian juga dengan pekerjaan, keluarga, atasan, bawahan. Seorang sahabat yang kerap jatuh cinta seperti ini, pernah mengungkapkan, dalam keadaan jatuh cinta, setiap lembar daun di pohon apapun terlihat seperti sehalaman buku suci yang penuh inspirasi. Setiap hembusan angin adalah pelukan-pelukan tangan kekasih yang amat menyentuh. Setiap suara air adalah nyanyian-nyanyian rindu yang menyentuh kalbu. Anda tertarik ?

     

Yudhistira November 28, 2007

Posted by tintaungu in Ragam.
3 comments

Di pintu surga, Yudhistira, raja tua yang lembut dan lurus hati itu, ditolak masuk. Permukaan bumi konon terkejut mendengarnya: bisa dipercayakah janji keadilan dalam hidup sesudah mati?

Berabad-abad manusia mengajukan pertanyaan seperti ini, namun para dewa tak menengok. Tuhan tak menjawab.

Tapi kejadian hari itu memang luar biasa. Banyak orang menganggap ini salah satu adegan paling memukau dalam Mahabharata.

Yudhistira ditolak masuk ke surga karena ia bertekad membawa serta seekor anjing yang kurus dan kotor ke dalam. ”Kau harus meninggalkan hewan itu di luar,” kata Dewa Indra di gerbang itu. ”Kalau tidak, kau tak bisa masuk.”

”Hamba harus membawanya,” jawab Yudhistira.

”Tak mungkin. Ada aturan yang melarang binatang masuk ke surga.”

Yudhistira diam sejenak. ”Kalau begitu, hamba tak akan masuk ke sana,” katanya. ”Lebih baik hamba kembali.”

”Ke mana?”

Yudhistira terdiam. Ia tak tahu apa yang akan didatanginya. Tapi ia tak banyak punya pilihan. Ia pun membalikkan badan dan melangkah dengan memeluk anjingnya yang kini menggonggong lirih.

Versi resmi Mahabharata menyebutkan di saat itulah mendadak hewan itu raib, dan yang tampak sosok Yamadharma. Dewa itulah—konon ayah Yudhistira sendiri—yang selama itu sebenarnya menyertainya dalam perjalanan.

Yudhistira terkejut. Tapi segera ia sadar, persoalannya tak berubah: ada yang tetap tak adil di situ. Pendakian ke surga di pucuk Mahameru itu begitu panjang, meletihkan, dan berbahaya—hingga istri serta empat saudaranya mati di jalan—tapi anjing yang lemah itu menanggungkan semuanya. Ia dengan setia menemani Yudhistira sejak batas kota Hastina, sejak semua pengantar mengundurkan diri. Ia juga penolongnya jika jalan sulit dan arah sesat.

Dalam diri binatang yang tanpa pamrih itulah Yudhistira menemukan sosok makhluk yang mulia; kepadanyalah ia merasa berutang budi. Tapi kahyangan menghinanya. Bukan saja si anjing ditolak masuk surga, tapi ditunjukkan bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya bukan kemuliaan. Perbuatan adalah mulia jika ia dilakukan satu subyek yang bebas tapi juga menjadikan dirinya bagian dari pengorbanan. Yamadharma bukan subyek semacam itu. Ia hanya menjalankan tugas kedewaan. Ia tak menanggungkan rasa sakit.

Saya bayangkan Yudhistira tetap memutuskan tak hendak masuk surga. Baginya surga tempat yang sewenang-wenang. Para dewa melarang satu makhluk masuk hanya karena sebuah batasan a priori: ia anjing, titik. Tak ada artinya perbuatan baik. Mantan raja Hastina itu percaya, jika ia melangkah ke dalam, ia akan mengukuhkan ketidakadilan. Ia pun meninggalkan gerbang.

Indra mencoba meyakinkannya. ”Dengarkan, Yudhistira. Kahyangan menghargaimu karena tindakanmu memprotes ketidakadilan. Ketidakadilan memang ada di sini, karena kedermawanan hati—dilakukan anjing atau bukan—dianggap tak ada. Kau benar, ketika kau menggugat.”

”Tapi para dewa telah menipuku. Anjing itu sebenarnya tak ada,” jawab Yudhistira.

”Memang tak ada,” kata Indra. ”Tapi pengorbanan itu ada”.

”Paduka berbicara pengorbanan sebagai sebuah ide. Hamba manusia. Pengorbanan adalah tindak, dengan pelaku dan peristiwanya. Jika anjing yang menderita itu tak ada, apa yang bernilai dari peristiwa itu juga tak ada.”

”Tapi engkau ada. Engkau berkorban, dan engkau ada.”

”Hamba berkorban untuk sebuah ilusi. Tak ada artinya. Hamba tak layak di sini.”

Di mana sebenarnya budi baik? Yudhistira mungkin akan menjawab: ketika ”aku” menegaskan diri, tapi dengan kesadaran dan kebebasan itu pula ”aku” membuat diriku menghilang, agar yang-lain, terutama yang membutuhkan, yang menderita, bisa hadir, terbebaskan, terhibur, dihargai. Budi baik terbit dari sebuah senyum: saat ketika kau melihat hidup sebagai panggilan untuk memandang liyan dengan ramah, takzim, tanpa pamrih.

Liyan: kata bahasa Jawa untuk menyebut ”orang lain” ini memang mengakui ”beda” dalam kedekatan—kedekatan yang justru membuat liyan sebuah enigma, keakraban yang justru membuatnya selalu menjadi: aku tak bisa menudingmu, aku tak berkuasa atas dirimu, aku tak bisa menentukan sejarahmu.

Di titik ini tiba-tiba Yudhistira justru merasa bersalah. Ada yang selalu tak pernah ia ketahui, sebenarnya, juga tentang seekor anjing yang menemaninya berhari-hari di perjalanan. Ia berutang budi kepada hewan itu, tapi mengapa tak ia lihat dalam diri makhluk yang kurus dan kotor itu ada sifat-sifat setengah dewa, seperti dahulu Bhisma: pengorbanan diri yang begitu jauh, dan sebab itu begitu suci? Bukankah tiap perbuatan baik kepada yang menderita adalah secercah cahaya keramat? Yudhistira kini mengakui: makhluk yang menolongnya sampai ke gerbang surga itu akhirnya tak penting identitasnya sebagai anjing; perbuatannya adalah manifestasi Dharma.

Yudhistira pun berhenti melangkah. Ia berpikir kembali: jangan-jangan ia—dan bukan kahyangan—yang telah menghina yang-lain itu dengan satu definisi: ia ”anjing”, titik.

Ia pun berbalik. Ia mulai mendaki lagi. Namun pada tikungan yang ke-7 sebelum pucuk Mahameru ia berhenti melangkah. Bimbang merasukinya lagi. Buat apa sebenarnya ia ke surga: untuk menikmati anugerah, atau untuk mengakui bahwa Indra benar?

Raja tua itu lelah. Ia kini tahu, kemurnian hati tak dengan sendirinya membawa pikiran jernih. Langit makin gelap. Ia melihat cahaya berpendar-pendar dari pucuk Mahameru, dan sayup-sayup terdengar nyanyian langit. ”Jika aku diizinkan masuk ke sana, surga akan menerima seorang yang bersalah. Atau seorang yang pamrih. Atau seorang yang tak punya pilihan lain, karena aku takut ke neraka. Apa artinya tempat itu jika demikian?”

Ia menghela napas. Tiba-tiba ia sejenak merasa melihat di gerbang di kejauhan itu Indra muncul, tinggi dan agung. ”Kemarilah, manusia,” begitu ia dengar kata-kata. ”Kemarilah jika kau tak merasa semua ini hanya ilusi.”

~Majalah Tempo, Edisi. 18/XXXIIIIII/25 Juni – 01 Juli 2007~

    

Prabu Yudhistira November 28, 2007

Posted by tintaungu in Ragam.
1 comment so far

Jeneng Yudhistira, ing crita Jawa, asline dianggo dening raja jin ing alas Mertani. Ing lakon Babad Alas Mertani, Pandhawa kasil ngalahake jin-jin ing alas kuwi. Yudhistira manjing ana ing ragane Puntadewa, pembarepe Pandhawa. Jeneng Yudhistira luwih kondhang dienggo dening Puntadewa kang banjur dadi raja ing Amarta, Indraprasta, iya Cintakapura, utawa Batanakawarsa, sing tilas alas Mertani. 

Ing Mahabharata, Yudhistira (utawa tinulis Yudisthira) iku ya Puntadewa dhewe. Dheweke lair saka bun-bunan Dewi Kunti, mula saka iku dijenengi Puntadewa kang tegese punjering kaluhuran. Yudhistira dhewe maknane raja prajurit. Ing Mahabharata, Pandhawa duwe bojo kang padha, yaiku Dewi Drupadhi (poliandri). Nanging ing wayang, Drupadhi iku bojone Puntadewa. Seka jejodhoan iki nuwuhake Pancawala. 

Ing padhalangan, Puntadewa iku putra pembarepe Prabu Pandhu Dewanata (ratu Astina) lan Dewi Kunthi. Dasanamane, Yudhistira, Darmakusuma, Darmaputra, Darmaraja, Darmawangsa, Wijakangka(Dwijakangka), Gunatalikrama,Samiaji, lan Sang Ajathasatru. Miturut layang Mahabharata,salugune Puntadewa putrane Bathara Dharma, dewane keadilan, srana Bathara Dharma manunggalake rasane karo Dewi Kunthi kang mateg dayane aji Adityahredaya (yen miturut padhalangan “mateg aji Panggendaming dewa” kang aran Puntawekasing Rasa Tunggal Sabda tanpa Lawanan). Rehne bab mau rinasa kurang trep ing bebrayan Jawa, mula dening para pujangga kita banjur diowahi, di jumbuhake laro tuntunan budaya Jawa lan kapribaden Jawa kang isine yane peputra ora karo bojone dhewe kuwi klebu tumindak sing nistha. Mulane ing crita padhalangan, Puntadewa iku putrane Prabu pandu, ratu ing Astina (Ngastina) lan Dewi Kunthi, dene Bathara Dharma kuwi dadi bapa angkate, kang uga banjur manitis ana anggane untadewa. Mula saka iku, Puntadewa uga sinebut Darmakusuma. Garwa prameswarine Prabu Puntadewa iku mung siji, Dewi Drupadi, putrine Prabu Drupada, ratu ing negara Pancala iya Cempala. Karo Dewi Drupadi banjur peputra siji aran Pancawala.

Ing versi Mahabharata India, Yudhistira pinter olah kaprajuritan lan gagah nalika perang. Yudhistira iku artine raja prajurit. Nanging ing crita Jawa, Yudhistira iya Puntadewa iku kondhang kadidene titah ludira seta. Kang mengkono mau kagawa saka watake sing jujur, salawase urip ora gelem dhora (ngapusi. Dhemen tetulung kepara apa sing didarbeki yen dijaluk wong liya diwenehake. Mula Puntadewa uga kondhang sinebut manungsa lega donya lila ing pati.Minangka tuladha, ing lakon Indrajala Maling (lakon carangan), Prabu Puntadewa ditembung dijaluk patine kanggo numbali wewalak ing negara Buluketiga. Sang Prabu ya manut. Dhirine dipasrahake. Ngenani wewatakane paraga siji iki, oncek-oncekane utawa anggone ndudah kudu permati. Awit akeh bab-babe sing rasane angel ditrapake ing sajroning penguripane wong sawantah. 

Ing lakon Baratayuda, Prabu Puntadewa tetep nglenggahi watake sing ora gelem ngapusi. nalika Pandhita Durna madeg senopati agung, kabeh Pandhawa rumangsa bingung. Sebab, dikaya ngapaa wae Pandhita Durna kuwi gurune Pandhawa. Apa hiya murid arep wani marang gurune ? Untung Prabu Kresna ora kurang iguh pertikele. Terus sing didhawuhi ngadhepi Pandhita Durna iku putra Pancala, Raden Dhresthajumena. Kresna mung dhawuh marang Werkudara supaya merjaya gajah titihane senopati pengampinmg (Prabu Prameya) kang aran Gajah Esthitama. Sawise gajah kelakon mati dikepruk gada Rujakpolo, kabeh wadya Pandhawa banjur kadhawuhan alok yen Esthitama mati. Pamirenge Pandhita Durna sing mati mau Aswatama. Mula Pandhita Durna banjur nglumpruk otot bebayune, kaya wis kelangan daya. Kanthi ati sing bingung, urna banjur takon mrana-mrene, kalebu marang para panakawan, marang Werkudara, Arjuna, Nakula, Sadewa, lan sapitutrute. Kabeh anggone mangsuli padha gelem dhora yen Aswatama pancen mati. Durna akhire takon marang Puntadewa. bareng ditakoni kaya mengkonmo mau mesthi wae Sang Prabu bingung banget, mosok arep goroh ? 

Dibisiki karo Prabu Kresna yen kala-kala wong kena goroh sethitik-sethitik ora apa-apa, nanging Puntadewa tetep puguh ora gelem goroh. Kresna golek cara liya, supaya anggone matur marang Durna nalika ngucapake tembung ësthi”sing lirih banget wae, dene anggone ngucapake tembung “tama”sing cukup sero. 

Tenan, diucapake dening Prabu Puntadewa ngono kuwi. Saka pangrungune Pandhita Durna, Aswatama mati, mula Durna banjur nglumpruk ing sangarepe Puntadewa, ning Sang Prabu banjur digandheng Kresna sumingkir saka papan kono. Karimijen tanpa daya, Durna ketekan Dhresthajumena kang wis kepanjingan yitmane Prabu Ekalaya iya Palgunadi kang pingin males ukum. Kanthi pedang ligan, Pandhita Durna ditigas janggane, satemah pralaya. 

Prabu Puntadewa sing sabar tur banget lila-legawa pambegane iku tau diapusi Kurawa lumantar Patih Sengkuni srana kasukan main dadu kanthi totohane negara. Satemah para Pandhawa sakadang kudu gelem nglakoni dadi wong buangan ing alas suwene 12 taun. Ing pakeliran pusakane kang asring dadi kembang lambe dhalang yaiku Jimat Kalimasada Pustaka Jamus. Ana uga Payung Kyai Tunggulnaga lan tombak tumbak Kyai Karawelang, lan sangsangan robyong (tilarane Prabu Yudhistira, ratu Mertani) kang dayane, menawa Puntadewa nesu lan astane nganthi nyeggol kalung iki, sanalika sarirane salin wujud dadi brahala utawa buta kang gedhene sagunung anakan kanthu kulit putih kang apraceka Dewa Amral iya Dewa Mambang. 

Ing pungkasaning crita, Puntadewa munggah swarga bareng karo sedulur-sedulure. Puntadewa bareng karo asune moksa sing pungkasan. Tinimbang Pandhawa liyane, raja iki luwih resik atine. Ora kumalungkung, ora sok kuwasa, jujur, lan ngugemi agama kanthi ngati-ati. 

Ing sorga, Puntadewa ora trima amarga sedulur-sedulure padha mlebu neraka. Dheweke njaluk supaya melu mlebu neraka. Kamangka, para Kurawa malah enak-enak ana surga. Jebul kuwi mung sawetara. Pandhawa kudu nglebur dosa dhisik sawetara banjur mlebu surga. Dene Kurawa bisa ngrasaake endahing surga amarga ana sawetara kabecikan, nanging ora akeh. Sawise Kurawa ngrasakake sorga banjur dilebokake ana ing neraka. 

Sumber artikel iki saka kaca situs web: “http://jv.wikipedia.org/wiki/Yudhisthira

     

Cerkak: ‘Album Lawas’ November 14, 2007

Posted by tintaungu in Rindu.
3 comments

Dening: Warisman, Mekarsari edisi 21 Oktober 2007 

Ana owah-owahan pakulinane Kandar. Saiki ora tau ngrungokake lagu-lagu pop taun sewidakan, album lawas. Kamangka maune saben esuk jam lima nganti jam pitu mesthi nyetel radio sing ana acarane lagu-lagu kenangan. Saiki ganti nyetel lagu-lagu anyar albume Ada Band, Ungu, Niji, Naff, Raja, Keris Patih, She, Agnes Monika lan sapanunggalane. Kamangka maune senengane ngrungokake lagu-lagune Tanty Yosepha, Titiek Sandhora, Ernie Djohan, Tety Kadi, Ana Mathovani, Broery Marantika, Bob Tutupoly, Alfian, Koes Plus, Bimbo, The Mercys, lan sapanunggalane.

“Nah ngono lagu-lagune genti dadi ora mboseni,” aloke Imah, bojone Kandar, sing maune asring grundhelan yen krungu lagu-lagu taun sewidakan. “Inggih Pak, kula melu seneng,” anak-anake padha ngegongi.

Kandar apal refrein lagune Naff “Akhirnya Ku Menemukanmu” : bila ku sanding dirimu, miliki aku dengan segala kelemahanku, bila nanti kau di sampingku jangan pernah lelah tuk mencintaiku. Utawa lagune Ungu “Demi Waktu” maafkan aku menduakan cintamu, berat rasa hatiku lupakan dirinya dan demi waktu yang bergulir di sampingmu, maafkanlah diriku sepenuh hatimu. Dhasare  nalika enom Kandar main band, mula olehe nyanyi karo gitaran nganggo gitare anake.

Suwe-suwe nuwuhake pitakonan ing atine Imah. Kok sing diapalake lagune Ungu karo Naff? Apa Kandar slingkuh? Nanging ora tau mulih kasep, dhuwit blanja ora suda. HP dicek ora ana SMS nyalawadi.

Kandar pancen kesengsem karo Nia kanca kantor. Isih enom, senengane lagu-lagu penyanyi saiki. Mula Kandar melu ngapalake lagu-lagu anyar. Kandar wiwit nyedhaki Nia. Nalika nilpun Nia, HP-ne ana ringtone lagune Naff “Akhirnya Ku Menemukanmu”. Kandar klepeg-klepeg lali yen wis tuwa, lali kaceke umur karo Nia adoh, wangun dadi bapake. Satemene, Kandar mandheg mangu, olehe arep jumangkah. Atine ngosikake, yen nganti Nia gelem, mesakake Nia. Kaceke umur adoh, kasenengane akeh bedane. Kejaba kuwi, Kandar kelingan Imah lan anak-anake. Imah sing bekti, bebarengan nglakoni pait getiring urip. Ora tega ninggal utawa ngedum rasa tresnane.

Mula banjur kupiya nglalekake Nia. Carane nyuda ketemu Nia, yen ora perlu banget, ora nemoni. Upama ora kejarag ketemu, ora perlu sambung gunem yen ora perlu. Kasenengane ngrungokake lagu anyar uga mandheg, bali ngrungokake lagu-lagu lawas, bali marang penyanyi Tanty Yosepha, Titiek Sandhora, Tety Kadi, Ernie Djohan lan penyanyi-penyanyi saangkatane. Upama lagu anyar ganti lagu religi kayata duweke Ungu, Bimbo, Raihan, utawa nasyid lokal Ustadz Anant, Nufi, Eling Karepe, Fatih, Suara Syuhada lan sapanunggalane. Mbaka sethithik Kandar bisa nglalekake Nia.

Nganti wusanane, bubar salat Idul Fitri wingi, Kandar ketemu Sinta tilas kanca SD biyen. Kandar kelingan nalika kelas enem, sepisanan ngrasakake kesengsem marang bocah wadon kanca sekelas, ya Sinta kuwi. Nalika semana sing hits lagune Tanty Yosepha “Seiring Sejalan”, lagune Titiek Sandhora “Gunung Fujiyama, Putus Cinta di Batas Kota”, lagune Ana Mathovani “Pria dan Wanita”. Sinta sing biyen sawise omah-omah pindhah Jakarta, saiki bali menyang Yogya nanging wis dadi randha. Biyen kelas enem SD nganti tekan kelas telu SMP runtang-runtung karo Sinta. Ya mung runtang-runtung nanging rasane endah banget. Pisah nalika kelas siji SMA marga beda sekolahane, lan Sinta banjur pacaran tenanan karo kancane SMA. Nalika semana sepisanan Kandar ngrasakake patah hati, mbeneri lagu “Patah Hati” duweke Rahmat Kartolo di-rekam maneh dening Kembar Group Alex & Yacob. “Sinta panggah katon ayu, malah rasaku luwih nengsemake, apa marga umur wis mateng,” batine Kandar bengi nalika arep turu.

Rasa tresna kang sepisanan, thukul maneh ing atine Kandar. Lagu-lagu album lawas sing karepe kanggo nglalekake Nia, salin dadi gaman landhep ngiris atine Kandar. Krasa luwih perih, senajan biyen mung cinta monyet. Kandar bali bingung, bisa nglalekake Nia, nanging tatu lawas kumat marga ketemu karo Sinta. Kudune Riyaya atine bungah nanging dheweke malah bingung digawe dhewe. Banjur kepriye? Mbaleni cathetan lawas, apa njaga wutuhe kulawarga? Kandar bingung, album lawas kabukak tatu lawas mili getih. Saka radhione tangga keprungu lamat-lamat lagune Niji sadarkan aku Tuhan dia bukan milikku.

Ngayogyakarta awal Oktober 2007.

     

Mitos-mitos Kesehatan di Sekitar Kita November 12, 2007

Posted by tintaungu in Ragam.
3 comments

“Jangan hujan-hujanan, nanti sakit lho!” Kata-kata ini kerap kita dengar dari orangtua, teman, atau dari tetangga ketika hujan akan atau sedang turun. Ya, hujan-hujanan sangat identik dengan sakit, masuk angin, flu, dsb. Tidak hanya “berlaku” pada anak-anak, tapi juga pada orang dewasa. Benarkah seperti itu?

Ada banyak mitos kesehatan di sekitar kita yang kadung diyakini kebenarannya. Di antaranya mitos masuk angin, kerokan dan angin duduk. Masuk angin sering diasosiasikan dengan kehujanan, begadang (kurang tidur), tugas malam, ataupun perubahan musim (cuaca). Kerokan identik dengan usaha untuk “mengeluarkan angin” dari dalam tubuh. Sedangkan angin duduk sering dihubungkan dengan kematian mendadak tanpa sebab.

Masuk Angin dan Kehujanan

Bagaimana cerita sebenarnya? Mitos masuk angin memang ada benarnya, namun ada pula salahnya. Misal, kita beranggapan bahwa kehujanan bisa menyebabkan masuk angin, demam, batuk, pilek, dan badan linu-linu. Padahal ini adalah gejala khas dari infeksi virus influenza? Apa hubungan antara air hujan dengan virus influenza? Apakah di dalam air hujan terdapat virus influenza? Apakah di balik baju yang basah terdapat segerombolan virus yang siap menyerang? Tentu tidak. Lalu ketika kita usai kehujanan pula sering beberapa di antara kita merasakan perut kembung, kemudian melilit dan akhirnya mengalami diare. Apakah air hujan juga membawa bakteri perut? Apakah baju basah membuat bakteri jahat merembes menembus kulit dan otot? Tentu tidak.

Mengapa kita sakit setelah kehujanan? Apakah kita pernah berpikir bahwa para atlet renang yang hampir 8 jam sehari berada di kolam renang sering masuk angin? Bahkan kita sendiri saat berekreasi ke pantai atau berenang di kolam renang tetap segar bugar. Padahal sama-sama air? Mengapa bisa demikian?

Disiplin ilmu psikoneuroimunologi (PNI) menjelaskan dalil (hadis qudsi) bahwa Allah itu sebagaimana prasangka hamba-Nya. Prasangka adalah dugaan atau persepsi kita. Bila Allah saja wujud dan keberadaan-Nya tergantung kepada cara kita memahami dan memaknainya, apalagi sebuah fenomena dalam kehidupan. Persepsi kita adalah bentuk lain dari doa. Saat tubuh kita kehujanan, lalu kita merasa sengsara dan menganggap akan sakit, maka kemungkinan besar kita akan sakit.

Darimana datangnya ‘doa’ jelek tersebut? Dari informasi yang dicangkokkan ke dalam benak kita. Darimana datangnya informasi itu? Dari pengetahuan yang kita terima sebagai sebuah budaya. Dan budaya tersebut kemudian diwariskan secara turun-temurun. Lalu kita meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Dengan demikian kita sudah berburuk sangka terhadap air hujan. Keyakinan bahwa kehujanan akan membuat sakit diterima dan menciptakan teror kecemasan di otak ketika kita mengalaminya. Saat cemas itulah terjadi peningkatan kadar hormon kortisol, sehingga sistem pertahanan tubuh menjadi lemah. Kondisi ini memudahkan kuman atau virus yang tidak diundang masuk dan menggangu sistem tubuh kita. Tanpa disadari, ketakutan dan kecemasan kita telah mengundang mereka untuk “berpesta”.

Darimana mereka datang? Bisa dari lingkungan sekitar, dari orang lain yang kita jumpai, atau bahkan dari antrean virus di sekitar lubang hidung kita yang memang sudah menunggu-nunggu giliran untuk masuk. Sedangkan pada kasus diare atau sakit perut, kuman yang menjadi penyebab bisa saja merupakan bagian dari “kuman baik” yang selama ini hidup dalam harmoni di sistem pencernaan kita. Mereka menjadi tidak terkendali dan “over populasi” ketika sistem pertahanan tubuh kita dilanda kecemasan. Akibatnya mereka lebih mementingkan keselamatan masing-masing. Inilah sebuah gambaran indah tentang manifestasi dan aplikasi sebuah doa. Sebagai sebuah harapan yang sarat dengan praduga, maka doa diefektori atau diijabah justru oleh sistem tubuh kita sendiri, Subhanallah.

Kerokan

Sebenarnya, kerokan termasuk sebuah metode terapi yang telah teruji secara ilmiah. Kerokan dapat digambarkan sebagai upaya untuk merangsang sistem pertahanan tubuh melalui induksi radang lokal. Dengan adanya faktor peradangan maka pembuluh darah akan melebar sesaat sehingga faktor-faktor pertahanan tubuh seperti interferon dan tumor nekrosis aktif kembali. Kondisi ini diharapkan akan membangkitkan ghirah sistem pertahanan tubuh untuk mengontrol keberadaan virus. Bahkan bila virus tersebut dianggap membahayakan, maka sistem pertahanan tubuh yang telah terstimulasi tersebut dapat mengeliminasi dan mendaur-ulang virus tersebut menjadi material biologis yang lebih bermanfaat.

Angin duduk

Angin duduk adalah gejala kelainan otot jantung yang terjadi dalam waktu singkat. Kondisi ini timbul karena kurangnya oksigen, sehingga banyak sel otot jantung mengalami kematian.
Mengapa otot jantung bisa mengalami kekurangan oksigen? Karena pembuluh darah yang membawa darah kaya oksigen ke bagian-bagian otot jantung tersumbat, karena adanya pembentukan “bukit-bukit” di dinding pembuluh darah bagian dalam. Bukit-bukit ini muncul karena adanya luka pada dinding bagian dalam akibat derasnya laju aliran darah serta banyaknya radikal bebas–khususnya yang berasal dari lemak jenuh.

Radikal bebas berbahaya karena sifat kimianya yang labil, sehingga ia cenderung mengambil sebagian elektron atau proton dari sel dinding pembuluh darah agar dirinya menjadi lebih stabil. Akibatnya sel tersebut rusak. Proses kerusakan itu pada gilirannya akan mengundang sistem perbaikan, tetapi bila kerusakan itu terjadi secara berulang maka penambalan yang terjadi akan “membukit”. Karena penyumbatan itu terjadi di pembuluh darah jantung yang bernama koroner, maka penyakitnya disebut jantung koroner. Jadi angin duduk sebenarnya adalah bagian dari gejala penyakit jantung koroner.

Demikian sekelumit penjelasan tentang mitos yang selama ini kita yakini dengan cara keliru. Wallaahu a’lam.

(Diambil dari entah berantah, semoga pembuatnya tersenyum ketika melihat artikel ini di sini).