jump to navigation

Budaya Negeri-negeri dalam Dua Ekor Sapi March 27, 2012

Posted by tintaungu in Tengok.
add a comment

Tulisan : Muhaimin Iqbal di geraidinar.com

Dahulu waktu masih aktif bekerja sebagai eksekutif perusahaan orang lain, saya banyak berinteraksi dengan para pelaku usaha dari berbagai negara. Ada cara yang  unique  untuk membandingkan budaya usaha di masing-masing negara yaitu melalui  joke. Nampaknya sederhana dan tidak serius, tetapi  joke-joke  ini ternyata memang sangat efektif dan kita bisa mengambil banyak pelajaran darinya. 

Di antara yang paling saya terkesan dan akan saya share dalam tulisan ini adalah paparan dari konsultan business global ketika menggambarkan budaya usaha di 7 negara – termasuk Indonesia. 

Dia mulai dengan negara yang katanya paling dominan perannya dalam percaturan ekonomi dunia saat itu, yaitu Amerika. Konsultan ini  memulai ceritanya dengan ringan : “Pengusaha Amerika itu ibarat seorang petani yang memiliki dua ekor sapi, satu dijual ke masayarakat (go public) dan yang satu lagi disuruh berproduksi susu sebanyak mungkin yang setara dengan produksi empat ekor sapi – itulah yang menyebabkan financial bubble dan akhirnya pasti meletus juga”. 

Lalu dia bercerita tentang ekstrem lain yaitu Rusia yang menjadi musuh bebuyutan Amerika selama beberapa dekade yang lewat  : “Sama dengan pengusaha Amerika yang memiliki hanya dua ekor sapi, tetapi di Rusia masyarakatnya diberi ilusi bahwa yang mereka miliki bukan dua ekor – mereka di doktrin untuk seolah memiliki 12 ekor sapi, masih tidak cukup – mereka di doktrin lagi seolah memiliki 48 ekor sapi. Kemudian salah satu pemimpin mereka menyadari, bahwa tidak benar mengajak rakyat untuk bermimpi – rakyat harus dikasih tahu bahwa mereka memang hanya memiliki 2 ekor sapi – saat itulah uni soviet bubar, tidak cukup sapi untuk dibagi…”. 

Di China lain lagi : “Mereka juga hanya memiliki dua ekor sapi, tetapi dua ekor sapi ini diperah oleh 100 tenaga kerja supaya semua mendapatkan pekerjaannya. Lho tetapi produksinya kan tetap tidak bisa banyak ?, Ooh tidak masalah. Susu dari dua ekor sapi ini kan hanyak untuk contoh, yang mereka jual tidak perlu susu asli – apapun asal diberi warna susu dan diberi aroma susu – cukuplah itu untuk disebut susu bagi mereka…”. 

Si konsultan lalu melanjutkan tentang Jepang : “ Di Jepang mereka juga hanya memiliki dua ekor sapi, tetapi mereka berusaha mengecilkan sapi ini menjadi separuh dari ukuran sapi pada umumnya – pada saat yang bersamaan sapi-sapi kecil ini harus mampu memproduksi susu dua kali dari sapi pada umumnya. Efisiensi mereka inilah yang mengungguli bangsa-bangsa lain di dunia !”. 

Lalu dia memberi contoh negara maju lainnya, yang konon berhasil dalam bidang engineering: “Di Jerman, mereka juga hanya punya dua sapi. Tetapi dengan teknologinya mereka berusaha menjaga betul sapi ini sehingga usianya mampu bertahan lama dan sampai tua tetap memghasilkan susu. Susu inipun tetap diperah oleh satu orang si empunya sendiri – sehingga mereka mampu berpenghasilan tinggi dalam tempo yang panjang…”. 

Si konsultan belum puas dengan ceritanya, dia memberi contoh lain yang berhasil dalam efisiensi ekonominya – yaitu Singapore : “Singapore juga hanya memiliki dua ekor sapi, satu dititipkan ke Malaysia dan satu lagi dititipkan di Indonesia. Dua negara ini yang repot memeliharanya, tetapi hasil susu dan perdagangan susunya tetap dikuasai Singapore !”. 

Sebelum membahas tentang Indonesia, si konsultan minta maaf dahulu ke saya – dia tahu saya orang Indonesia, dan orang Indonesia konon paling mudah tersinggung. Setelah saya memberi hint untuk go ahead dengan joke-nya diapun mulai : “Indonesia juga memiliki dua ekor sapi, tetapi dua ekor sapi ini dikandangkannya dan tidak boleh memakan hijauan yang ada di luar sana. Mengapa ?, karena yang di luar sana sudah dijual untuk memberi makan sapi Singapore tadi.  Sapi-sapi Indonesia sendiri menjadi kurus kering dan tentu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan susu rakyatnya yang sangat banyak. Untuk rakyatnya sendiri Indonesia memilih impor susu dari negara lain !”. 

Setelah menyampaikan ini, si konsultan masih takut menyinggung saya, dia memberi kesempatan saya untuk meluruskannya.  Dia bilang, Mr. Iqbal, now your turn to tell us about your country , you may think our story is not accurate…?. 

Lalu saya berusaha meluruskannya, kondisi sekarang mungkin memang tidak terlalu jauh dari persepsi yang dibangun oleh masyarakat internasional tersebut. Namun justru karena itulah di Indonesia kini timbul banyak pemikiran utuk kami bisa menggembala dua ekor sapi kami secara leluasa di negeri kami sendiri. 

Lebih dari itu, pemikiran ekonomi yang kami bawakan adalah bagaimana kami bisa menyuburkan negeri kami sehingga kemakmurannya bukan hanya cukup untuk negeri kami – tetapi juga untuk negeri lain yang membutuhkannya. 

Tidak ada salahnya orang Singapore menitipkan dua ekor sapinya semua di negeri kami, demikian pula dengan sapi-sapi dari negeri lain – kami banyak sumber daya alam dan banyak tenaga kerja yang akan mampu mengelolanya semua. 

Untuk semua ini tercapai, hanya dua yang kami butuhkan yaitu rakyat yang tidak menunggu pemimpin untuk berbuat dan pemimpin yang tahu betul harus berbuat apa untuk rakyatnya.

Saat Cinta Tak Mampu Mempertemukan Kita March 25, 2012

Posted by tintaungu in Rapuh.
add a comment

Saat cinta merekah, semua terasa indah. Tak bisa dipungkiri, bahwa cinta ini dipercaya banyak orang memilki kekuatan yang unik dan dahsyat. Bisa mendekatkan yang jauh. Bisa menyatukan yang berbeda. Bisa menyulap yang sederhana menjadi sangat istimewa. 

Kerja cinta memang mengikat. Mengikat antara dua insan sehingga menjadi sepasang kekasih. Mengikat dua insan sehingga menjadi saudara. Mengikat dua insan sehingga menjadi sahabat. Semua bisa seperti itu karena kerja cinta. 

Dalam kehidupan berumah tangga, cinta perlu dihadirkan di sana. Bukan hanya memberi warna, namun juga menjadi ruh yang senantiasa menjaga nadi pernikahan agar tetap berdenyut. Jika cinta sudah tak ada, maka biasanya selesailah sebuah rumah tangga, karena tak ada lagi kekuatan yang mendorong masing-masing untuk tetap bersama atas nama cinta. 

Perselisihan bukanlah akhir dari segalanya di antara kita. ‘Berapa banyak perselisihan yang justru melahirkan kebersamaan .’

Kalimat syair di atas hanya akan terjadi jika masih ada cinta yang terus bekerja dan menyemai antara seseorang dengan pasangannya. 

Namun, melihat dimensi keagungan cinta, apakah ia sudah merupakan segalanya dalam kehidupan rumah tangga kita? 

Perlu kita sadari, bahwa keluarga muslim adalah keluarga yang berorientasi akhirat. Artinya, kebersamaan bersama dengan pasangan kita tentu juga harus diorientasikan jauh ke akhirat sana. Bukan hanya sebatas kehidupan dunia saja. Ketika jiwa meregang nyawa kemudian kebersamaan menjadi selesai begitu saja. Namun kebersamaan di sini harus berujung kebersamaan kelak di surga. 

Apakah cinta saja mampu menyatukan kita dengan pasangan kita kelak di akhirat? Mari kita simak baik-baik firman Allah Ta’ala, “Orang yang saling mencintai pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43] : 67) 

Kata Al-Akhillaa’ (Orang-orang yang mencintai) berasal dari kata al-khullah (cinta). Namun kata khullah ini artinya adalah cinta yang bukan hanya sekedar cinta. Khullah artinya adalah cinta yang begitu dalam dan besar. Karena itulah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mendapatkan gelar Al-khalil (Kekasih Allah). 

Akan tetapi, meskipun mereka di dunia memiliki kualitas cinta yang luar biasa, ternyata itu tidak cukup untuk membuat mereka bisa bersanding di surga. Tentu ada kekuatan lain, selain cinta, yang bisa menyatukan kita dengan pasangan kita kelak di Surga. Apa kekuatan itu? 

Allah mengatakan, “kecuali orang-orang yang bertakwa.” Artinya, orang-orang yang bertakwa mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan estafet cintanya sampai kelak di Surga. Pasangan Suami-Istri yang bertakwa kelak akan terus memadu cinta sampai ke Surga. 

Bagaimana hal itu bisa terjadi? 

Itu karena mereka melandaskan cinta mereka kepada pasangannya di atas pondasi ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Bangunan rumah tangga Muslim memang harus berdiri di atas pondasi takwa. Adapun cinta, tempatkan ia sebagaimana bidangnya, mengikat dan menyatukan kita dengan pasangan kita. Karena itu memang kerja cinta, bukan sebagai pondasi. Pondasinya adalah takwa. Jika itu tidak kita lakukan, maka bangunan rumah tangga kita terlalu ‘ringkih’ dan lemah untuk sanggup menopang kebersamaan sampai kelak di Surga. 

Allah Ta’ala berfirman, “Maka, apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas pondasi takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang baik? Ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunan itu jatuh bersama-sama dengannya ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah [9] : 109) 

Ayat di atas sebenarnya berbicara tentang masjid Dhirar, sebuah masjid yang dibangun oleh orang-orang kafir dengan tujuan untuk memata-matai ummat Islam di awal-awal hijrah ke Madinah. Sehingga kata bangunan itu berarti masjid. Namun, kata bangunan tersebut bisa kita kiaskan ke semua bentuk bangunan, termasuk bangunan rumah tangga. 

Sebuah rumah tangga yang dibangun di atas pondasi takwa akan hidup nuansa kebaikan di dalamnya. Mereka akan saling mengingatkan untuk senantiasa meniti jalur keta’atan kepada Allah. Bila pasangan khilaf dan kurang maksimal dalam beribadah kepada Allah, maka ia mengingatkannya dan memotivasinya agar terus meningkatkan kualitas ibadahnya. 

Inilah cinta yang hakiki. Cinta di atas pilar takwa. Cinta yang membuat seorang Suami tidak tega jika istrinya kelak sengsara di akhirat. Cinta yang membuat seorang Istri tidak rela jika Suaminya kelak dijadikan bahan bakar api Neraka. Sehingga kekuatan takwalah yang kini bicara. 

Kekuatan takwa yang akan mendorong Istri untuk selalu ta’at kepada Suami. Kekuatan takwa yang akan membuat Suami selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk masa depan akhirat Istri. Konteks bicaranya adalah akhirat. Sehingga jarum kompas biduk rumah tangga selalu diarahkan ke sana. 

Untuk keluarga yang seperti ini, kelak Allah akan berkata kepada mereka, “Masuklah kamu ke dalam surga dan isteri-isterimu (lalu) kamu akan dimuliakan.” (QS. Az-Zukhruf [9] : 70) 

Ar-Razi mengatakan, kata tuhbaruun (kamu akan dimuliakan), maksudnya kemuliaan disitu bukan hanya sekedar ‘ikram’ (kemuliaan biasa), tapi kemuliaan yang benar-benar dilebihkan. Hal itu diperkuat dengan penjelasan ayat setelahnya tentang bagaimana orang-orang bertakwa diperlakukan di Surga, “Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas dan cangkir-cangkir. Di dalam Surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata, dan kamu akan kekal di dalamnya. Dan itulah Surga yang diwariskan kepadamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang sebagiannya kamu makan.” (QS. Az-Zukhruf [9] : 71-73) 

Ternyata, ada kekuatan yang lebih dahsyat dari cinta. Kekuatan takwa. Sehingga sangatlah layak jika kita sampaikan risalah hati kita kepada pasangan kita. Bunyinya, 
‘Cintaku kepadamu menjadi tidak berarti, Jika tidak melahirkan rasa takut pada Ilahi’.

Biarkan cinta tetap bersemi. Biarkan takwa selalu memberi arti. Karena sesungguhnya aku ingin kita kelak tetap bisa bersama sampai meraih Surga-Nya.
 
(Sumber :  KembangAnggrek)

Garam dalam Segelas Air March 19, 2012

Posted by tintaungu in Ragam.
add a comment

Alkisah, tampak seorang murid berwajah murung akhir-akhir ini. Ia mengerjakan segala sesuatu dengan gelisah dan tidak bersemangat, seakan banyak masalah yang ada di pikirannya. Sang guru yang memperhatikan murid tersebut, memanggil ke ruangannya dan berkata: 

“Bapak perhatikan, kenapa kamu selalu murung anakku? Bukankah banyak hal indah di kehidupan ini? Ke mana perginya wajah ceria dan bersemangat kepunyaanmu dulu?” 

“Guru, belakangan ini hidup saya sedang penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang tidak ada habis-habisnya. Serasa tak ada lagi sisa untuk kegembiraan,” jawab si murid sambil tertunduk lesu. 

Sambil tersenyum bijak sang guru berkata,”Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam di dapur. Bawalah kemari. Biar bapak coba perbaiki suasana hatimu itu.” 

Si murid pun bergegas melakukan permintaan gurunya sambil berharap dalam hati mudah-mudahan gurunya memberi jalan keluar bagi permasalahan hidupnya. 

Setibanya di hadapan sang guru, “Ambil garamnya dan masukkan ke segelas air itu, kemudian aduk dan coba kamu minum.” 

Wajah si murid langsung meringis setelah meminum air asin tersebut. 

“Bagaimana rasanya?” tanya sang guru dengan senyum lebar di bibirnya. 

“Asin, tidak enak, dan perutku rasanya jadi mual,” jawab si murid dengan wajah masih meringis. 

Kemudian sang guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. Danau itu begitu indah, airnya bening karena sumber air alam yang selalu mengairi di situ. 

“Ambil air garam dan garam yang tersisa dan tebarkan ke danau,” perintah sang guru. Si murid dengan patuh memenuhi permintaan gurunya. 

“Sekarang, coba kamu minum sedikit air danau itu”. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air di danau dan meminumnya. “Bagaimana rasanya?” 

“Segar, segar sekali,” kata si murid. “Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah sini.” 

“Terasakah rasa garam yang kamu tebarkan tadi?” 

“Tidak, tidak sama sekali guru,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. 

“Nak, segala masalah dalam hidup ini sama seperti segenggam garam. Tidak kurang tidak lebih. Rasa ‘asin’ sama seperti masalah, kesulitan, penderitaan yang dialami setiap manusia, dan tidak ada manusia yang bebas dari permasalahan dan penderitaan. Benar kan? 

Tetapi Nak, seberapa rasa ‘asin’ dari penderitaan yang dialami setiap manusia sesungguhnya tergantung dari besarnya hati yang menampungnya. Maka, jangan memiliki kesempitan hati seperti gelas tadi, tetapi jadikan hatimu menjadi sebesar danau sehingga semua kesulitanmu tidak akan mengganggu rasa di jiwamu dan kamu tetap bisa bergembira walaupun sedang dilanda masalah. Nah, mudah-mudahan penjelasan gurumu ini bisa memperbaiki suasana hatimu.” 

Seorang bijak berkata “Life is suffering. Hidup adalah penderitaan”. Memang, kenyataan di kehidupan ini adalah, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan selera kita, membuat kita menderita. 

Kadar penderitaan, tentu setiap orang berbeda. Tergantung cara pandang dan keikhlasan kita dalam menyesuaikan dengan selera kita. Maka selayaknya kita harus terus belajar dan memperluas wawasan kebijaksanaan, agar jangan sampai masalah yang menguasai kita. Tetapi kitalah yang mengendalikan masalah. Sehingga, masalah yang datang bukan lagi dipandang sebagai penderitaan, tetapi bagian dari kehidupan yang harus kita jalani. 

keep spirit… keep istiqomah…

(Sumber: KembangAnggrek)

Kisah Nyata Sedekah Menyentuh Hati March 17, 2012

Posted by tintaungu in Tengok.
add a comment

Gila !! Begitu cibiran yang hampir tiap hari menyengat telinga Dani Hermawan. Cibiran sadis tersebut diterimanya, setelah ia mengambil keputusan drastis yang sangat tidak masuk akal bagi rasio awam. 

Bagaimana tidak. Dani hanyalah seorang pekerja serabutan. Ia tinggal di rumah kontrakan di Bogor bersama seorang anak dan istri yang tengah mengandung anak kedua. Untuk makan sehari-haripun, Dani sekeluarga sangat terbantu oleh kebaikan mertuanya. 

Nah, dalam kondisi begitu, Dani malah menguras isi kontrakannya. Bukannya untuk dijual buat makan dan beli susu anaknya, tapi justru disedekahkan. 

Pencerahan sedekah Dani dapatkan, setelah nyawanya hampir melayang di ujung putus asa.

Semula, Dani Hermawan seorang supplier ayam yang cukup berjaya. Peternakannya luas, ayamnya ribuan. Mobil pengangkut ayam tiap hari keluar-masuk kandangnya. Uang setoran pun mengalir deras ke kantongnya. 

Sampai kemudian, wabah flu burung menyerang. Puluhan demi puluhan ayam negeri Dani mati, sampai akhirnya ludes tak tersisa. Dani Hermawan bangkrut pada tahun 2007. 

Tragisnya, hampir tidak ada sisa masa kejayaan usaha Dani. Uang yang melimpah justru membuatnya lalai untuk menyiagakan masa depan keluarga. Bahkan rumah pun mereka tak sempat punya. “Saya lalai, saya lalai,” kenang Dani sambil terisak. 

Bersamaan dengan itu, Nia Kurniawati istrinya pun di-PHK dari tempat kerjanya.

Untuk melanjutkan hidup sekeluarga, Dani lalu kerja serabutan sambil “mantab” (makan tabungan) yang sedikit tersisa. Beruntung dia memiliki mertua yang baik, sehingga kebutuhan dapurnya kemudian tertalangi. Walaupun, sebagai kepala keluarga yang pernah jaya, pria ini sungguh tak enak hati hidup dalam naungan mertua. 

Perasaan bersalah, malu, sekaligus khawatir, menumpuk di dada, membuat Dani Hermawan stress. Apalagi anak mereka yang kedua jelang lahir. Duit dari mana buat biayanya? Uang dari mana untuk membeli susunya? Lalu buat sekolahnya nanti bagiamana? 

Masya Allah, tak kuasa menahan stress, bisikan setan pun diikutinya. Satu malam, Dani ngeloyor ke rel kereta api tak jauh dari rumahnya. Sampai di sana, dia lalu nekad membaringkan diri menyilangi salah satu rel. 

Ketika kupingnya menangkap deru kereta Jabotabek dari arah Jakarta, Dani segera memejamkan mata rapat-rapat. “Sebentar lagi penderitaanku akan berakhir,” batinnya, walau dibarengi rasa takut. 

Wes ewes ewes, bablas keretanya. “Lho, aku kok masih hidup,” Dani kaget ketika membuka mata. Olala, ternyata kereta api lewat melalui rel satunya. 

Dani lalu memejamkan mata lagi, berharap kereta berikutnya segera lewat dan melindas tubuhnya.

Tapi, tunggu punya tunggu, si kereta tak datang jua. Sementara, Dani harus bersilat melawan gerombolan nyamuk yang mengerubutinya. Plak, plok, plaak. 

Tak tahan dingin dan nyamuk, akhirnya Dani urung bunuh diri. Dengan langkah lunglai, pulang dia ke kontrakannya. 

Suatu malam berikutnya, giliran bisikan malaikat yang dia ikuti. Saat iseng menyetel TV Banten, tiba-tiba Dani terpaku pada taushiyah Ustadz Yusuf Mansur. Sang Ustadz tengah menguraikan sedekah sebagai solusi problema kehidupan. 

“Sedekah akan cepat bunyi bila ditunaikan dalam keadaan kita kepepet, lagi butuh, atau sangat menyayangi harta yang akan kita sedekahkan,” kata Ustadz, yang menancap betul di benak Dani.

Besoknya, dengan getol Dani mulai memburu dan melahap taushiyah Ustadz melalui radio dan televisi, juga VCD. 

Melihat hobby baru suaminya, semula Nia sinis. “Aa’, yang pasti-pasti aja deh. Uang itu ya didapat dari kerja, bukan sedekah,” kata Nia yang waktu itu masih belum berbusana muslimah.

“O iya, ini juga pasti Dik. Tinggal kita yakin apa enggak,” Dani mencoba sabar. Ia maklum, dalam kondisi seperti ini istrinya jadi sensi. 

Namun satu sore, Dani memergoki istrinya tengah menyimak VCD The Miracle. Tampak Nia manggut-manggut, merasa mendapat pencerahan .

“Iya ya A’, kita sedekahkan yang kita punya yuk,” katanya, disambut senyum Dani.

Tak tega rasanya Darmawan Setiadi, saat menjemput sedekah Dani di kontrakannya. Di bawah tatapan melompong putri Dani, Darmawan dan tim PPPA Daarul Qur’an mengangkut kulkas, televisi, tape, sampai ke handphone satu-satunya milik tuan rumah. Semua barang itu bakal dijual di PPPA Shop, hasilnya untuk membiayai program pembibitan penghafal Qur’an. 

“Mas Dani, bagaimana kalau hape-nya tidak usah ikut disedekahkan. Mas Dani kan sangat memerlukannya,” bisik Darmawan kepada Dani. 

“Oh, tidak Mas. Saya memang sudah meniatkan untuk disedekahkan bersama barang-barang lainnya. Doakan saja agar Allah memberi balasan yang terbaik buat kami,” jawab Dani mantap. Apa boleh buat. Sambil menahan tangis haru, Darmawan membawa semua barang sedekahan Dani. Tak ayal, kontrakan Dani langsung kosong melompong. Yang tersisa hanyalah almari kayu tua yang sudah tidak layak untuk disedekahkan sekalipun. 

Almari itu bagian tengahnya bolong, tadinya untuk wadah TV. Setelah TV-nya diangkut, Az Zahra anak sulung Dani nyeletuk, “Yah, sekarang kita nonton tipinya bohong-bohongan ya?”

Dani menjawab dengan mengusap sayang kepala putranya. “Tenang, Nak, Allah Maha Kaya dan Maha Mengetahui,” katanya, ditingkahi senyum tulus sang istri. 

Setelah itu, Dani dan Nia Kurniawati, menggetolkan riyadhoh. Mereka dawamkan amalan wajib, ditambah amalan sunnah Nabi seperti sholat tahajjaud, dhuha, dan puasa Senin-Kamis. 

Saking rindunya pada Rasulullah SAW, Dani bahkan mulai membiasakan diri mengenakan baju gamis. Namun, mantan pengusaha peternakan ayam yang kini hobby-nya ke masjid itu, malah disalahpahami. Bahkan sebagian orang menganggapnya kurang waras. 

“Dik, mengapa mereka tega mengataiku gila. Apakah orang tidak boleh berubah jadi baik,” keluh Dani Hermawan pada istrinya. “Sabarlah A’, insya Allah, Allah akan menunjukkan jalan,” Nia menghibur suaminya. 

Kabar tentang “keanehan” Dani, rupanya sampai juga ke seorang pengusaha yang masih tetangganya. Suatu malam, Dani dipanggil ke rumah si pengusaha. Setelah menyimak kisah singkat perjalanan hidup Dani, pengusaha itu berkata, “Hobby-mu apa Dan?”

“Badminton, Pak, tapi belakangan ini sudah jarang main lagi,” Dani tersenyum.

“Ya sudah, nanti kapan-kapan kita ketemu lagi.”

Saat dipanggil kembali, Dani kaget bukan kepalang. Pengusaha tersebut menjadikannya manajer Gedung Olah Raga (GOR) badminton di Jalan Soleh Iskandar, Bogor. 

Selain menyewakan gedung badminton, Dani Hermawan juga mengajar kelas bulu tangkis. Dia pun melayani les privat olahraga yang sama. Ini menjadi kekuatan GOR yang dikelolanya.

“Awalnya, hanya satu klub yang menjadi pelanggan kami. Sekarang alhamdulillah, sampai harus antri kalau mau makai GOR kami,” kata Dani. 

Kini, kehidupan Dani Hermawan dan istrinya bersama kedua buah hati mereka, Azzahra Putri Dani dan Juaneta Putri Dania, jauh lebih baik. Tanpa dipaksa sang suami, Nia Kurniawati sudah berbusana muslimah. Mereka sangat mensyukuri semuanya, meskipun belum memiliki rumah sendiri. 

(sumber : buku dahsyatnya sedekah)

Hanya Ada Tiga Hari Dalam Hidup Ini March 2, 2012

Posted by tintaungu in Reksa.
add a comment

Yang Pertama : HARI KEMARIN…
Kita tak bisa mengubah apapun yang telah terjadi …
Kita tak bisa menarik perkataan yang telah terucapkan ….
Kita tak mungkin lagi menghapus kesalahan ..;
dan mengulangi kegembiraan yang kita rasakan kemarin …
Biarkan hari kemarin lewat ..;
LEPASKAN saja….

Yang kedua : HARI ESOK …
Hingga mentari terbit esok hari, ..
Kita tak tahu apa yang akan terjadi …
Kita belum bisa melakukan apa-apa untuk esok hari …
Kita tak mungkin tahu .., sedih atau ceria di esok hari …
Karena Esok hari belumlah tiba ..;
BIARKAN saja …

Yang tersisa kini hanyalah : HARI INI …
Pintu masa lalu telah tertutup …
Pintu masa depanpun belum tiba …
Pusatkan saja diri kita untuk hari ini …
Kita dapat mengerjakan lebih banyak hal untuk hari ini …,
Bila kita mampu melupakan hari kemarin …
Dan melepaskan ketakutan akan esok hari …

Hiduplah HARI INI …
Karena, masa lalu .. dan masa depan .. hanyalah permainan pikiran yang rumit ….

Hiduplah apa adanya …
Karena yang ada hanyalah hari ini …
Perlakukan setiap orang dengan kebaikan hati .. dan rasa hormat ..,
Meski mereka berlaku buruk kepada kita …

Sayangilah seseorang sepenuh hati hari ini .., karena mungkin besok cerita sudah berganti ….

Ingatlah bahwa kita menunjukkan penghargaan pada orang lain …
bukan karena siapa mereka …, tetapi karena siapakah diri kita sendiri ….

Jadi, jangan biarkan masa lalu mengekang kita …
Atau masa depan membuat kita bingung ….

Apapun juga yang kita perbuat .., perbuatlah dengan segenap hati … Sepenuh jiwa raga ..

Berterima kasihlah pada orang yang telah melukai hati kita .., karena dia telah membuat hati kita menjadi kuat ….

Berterima kasilah pada orang yang telah membohongi kita .., karena dia membuat hidup kita makin bijaksana …

Berterima kasihlah pada orang yang membenci kita .., karena dia yang mengasah ketegaran kita …

Berterima kasihlah pada orang yang telah menyayangi kita .., karena itulah ANUGERAH TERINDAH dalam hidup kita …

Dan jangan lupa berterima kasihlah selalu kepada Sang Pencipta .., karena itulah KUNCI KEBERKAHAN dalam hidup kita …

Be happy .. Be healthy ….

(sumber: KembangAnggrek)